Friday, July 8, 2016

Khotbah Pernikahan ( KEUTUHAN HIDUP SEBAGAI SUAMI-ISTERI )

KEUTUHAN HIDUP SEBAGAI SUAMI-ISTERI
I Petrus 3 : 1-7)

Saudara-saudara yang dikasi Tuhan,
Memasuki jenjang pernikahan sebagai prasayarat bagi terbentuknya sebuah keluarga yang baru dan sah merupakan sebuah moment yang selalu diimpikan oleh setiap orang dalam hidupnya, khususnya bagi yang belum menikah. Oleh karena itu, setiap saat, banyak orang yang berhayal, bergumul dan berencana agar moment-moment seperti itu juga boleh dialaminya, dan tidak terlewatkan dalam hidupnya.
            Dan dapat dipastikan bahwa dalam setiap harinya, selalu saja ada pasangan yang meresmikan status pernikahannya di muka bumi ini. Adapun mekanisme proses yang dilaluinya tentunya berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip nilai budaya dan keyakinan masing-masing orang yang dianutnya. Ada pasangan nikah yang mampu mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan menikmati kebahagiaan, namun ada juga yang hanya bertahan sesaat, kemudian cerai karena ternyata hubungan yang dibangunnya sebelum menikah hanya digiring oleh buaian dongeng-dongeng cinta yang palsu.
Menyadari kenyataan praktek hidup yang terjadi dalam pernikahan demikian, Rasul Petrus merasa tertantang dan bertanggungjawab untuk memberikan pemahaman tentang prinsip iman yang harus dipahami, dipegang teguh dan dipraktekkan oleh setiap pasangan kristen agar mampu menjaga kekudusan pernikahannya dan hidup senantiasa dalam keutuhan rumah-tangga sebagai suami-isteri yang sah. Dalam hal ini, masing-masing pihak; suami maupun isteri dituntut untuk berperan aktif dan bertanggungjawab dalam mengupayakan keutuhan hidup dalam rumah-tangganya.
1.    Seorang isteri harus berusaha memenangkan suaminya (1-6)
Seorang isteri diharapkan mampu melayani suaminya dengan kasih yang murni dan penuh kesalehan berdasarkan firman Tuhan agar dapat memengkannya hati suaminya di dalam Kristus. Secara jasmani, seorang isteri memang lemah dibanding suami, namun justru di balik kelemah-lembutannya sebagai perempuan, setiap isteri yang takut kepada Tuhan dikaruniai suatu kekuatan yang sangat besar. Oleh karena itu, dengan kekuatan cintanya-kasihnya yang besar dan mulia, seorang isteri dapat menempatkan dirinya secara benar untuk mendampingi dan menopang tanggungjawab kepemimpinan suami sebagai imam dan kepala dalam keluarga.
Seorang isteri harus mampu merawat dan menjaga kecantikan dirinya; namun yang dimaksud bukan semata kecantikan lahiriah melainkan yang utama adalah kecantikan batiniah. Perhiasan yang terlalu mencolok bertentangan dengan sikap keserhanaan yang diinginkan oleh Allah. Yang dinilai oleh Allah di dalam diri setiap isteri dari keluarga Kristen adalah sikap yang lemah lembut, yang berusaha untuk memuliakan Dia dengan menyerahkan dirinya untuk menolong suami dan keluarganya mencapai kehendak Allah dalam hidup mereka.
2.    Seorang suami harus hidup bijaksana dan menghormati isterinya (ay.7)
Dalam hal ini, seorang suami dituntut untuk senantiasa hidup bijaksana dan penuh pengertian, hidup dengan isterinya di dalam kasih yang selaras dengan firman Tuhan. Seorang suami harus menghormati isterinya sebagai teman pewaris yang setara dari kasih karunia dan keselamatan Allah. Isteri harus dihormati dan dilindungi. Menghormati berarti menerima pasangannya sebagaimana adanya dan membantunya bertumbuh sesuai yang Allah kehendaki.
Rasul Petrus menunjukkan bahwa seorang suami yang gagal hidup bersama isterinya dalam cara penuh pengertian dan penghormatan sebagai sesama anak Allah, akan merusak hubungannya dengan Allah. Dan itu berarti ia menciptakan suatu penghalang bagi doa-doanya di hadapan Allah.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Tuhan,
Dengan belajar dari Firman Tuhan tersebut, kita dapat memahami dimensi rohani yang sangat dalam tentang arti sebuah pernikahan. Sehingga kita senantiasa dibimbing untuk menempatkan kehidupan kita sebagai kehidupan yang sungguh-sungguh berkenan di hadapan Tuhan, khususnya melalui peran kehadiran dalam tanggungjawab kita sebagai suami maupun isteri dalam keluarga. Ketika perjalan hidup dalam pernikahan terasa berat, setiap pasangan tidak serta merta menjadikannya sebagai alasan untuk melepas dan membuang cintanya, tetapi justru disitulah ia dituntut untuk bertahan dalam menyelesaikannya dengan mengandalkan pertolongan Tuhan. Tidak ada seorang pun yang berada dalam posisi yang lebih dekat dan lebih baik untuk memenangkan seseorang pada Kristus, kecuali pasangan hidupnya sendiri. Sebab hubungan suami isteri adalah sebuah hubungan yang paling pertama dan yang tertua yang diciptakan oleh Allah. Allah jugalah yang telah merencanakan dan memberkati hubungan pernikahan tersebut dan berjanji untuk menjaganya. Oleh karena itu, Allahlah, di dalam Kristus Yesus satu-satunya menjadi dasar yang kokoh bagi terbentuknya sebuah keluarga. Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.
Hakekat janji yang diucapkan dalam setiap pemberkatan nikah ialah penyerahan diri secara tulus antara satu dengan lainnya. Alkitab berkata,”Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Menjadi satu daging dalam pernikahan bukanlah suatu pelepasan pribadi dan hak-hak pribadi kedua belah pihak, tetapi justru memperkaya kepribadian keduanya menjalani kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya; yaitu dalam keutuhan hidup sebagai suami-isteri. Amin!


Tuesday, June 14, 2016

UNGKAPAN SYUKUR YANG SEJATI

UNGKAPAN SYUKUR YANG SEJATI
(Imamat 7:11-13, Roma 12:1-3)

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Mengungkapkan rasa syukur  atas berbagai peristiwa penting dan berkesan yang kita alami dalam kehidupan kita, merupakan sebuah sikap hidup yang layak  untuk kita nyatakan selaku orang percaya di hadapan Tuhan. Hal itu kita lakukan sebagai bentuk kesadaran kita tentang keterbatasan kita sebagai manusia, namun kemudian  kita dapat mengalami sesuatu yang mensukacitakan di luar dari batas ketidakmampuan kita, karena kita meyakini bahwa ada  suatu sosok pribadi yang berperan di dalamnya yang memiliki kuasa, yaitu Tuhan. Entah peristiwa itu terjadi dimana kita boleh mengalami tuntunan dan menerima berkat Tuhan dalam usaha dan pekerjaan kita, mengalami kesembuhan dari penyakit yang selama ini kita derita, terluput dari sebuah musibah, mengalami pertambahan umur, mengalami kenaikan pangkat, dan sebagainya. Ada begitu banyak peristiwa penting yang bisa dijadikan sebagai alasan bagi setiap orang untuk menyatakan ungkapan syukurnya kepada Tuhan. Juga, ada begitu banyak cara yang dapat dilakukan oleh setiap orang dalam mengekspresikan rasa syukurnya.
Dalam konteks Perjanjian Lama misalnya, sebelum Allah memperkenalkan diri kepada umat Israel sebagai jalan keselamatan di dalam Yesus Kristus, dan umat Israel belum mengenal Yesus Kristus secara pribadi, kita menemukan suatu bentuk kebiasaan praktek ucapan syukur yang sering dilakukan oleh umat Israel kepada Allah yang mereka yakini sebagai sumber hidup dan keselamatan mereka. Dalam praktek ini, setiap kali mereka hendak menyatakan rasa syukurnya, mereka harus memberikan suatu korban bakaran bagi Allah, yaitu korban berupa hewan dengan berbagai kelengkapan lainnya ( seperti: sajian roti sesuai dengan ketentuan bentuk olahannya).
Korban syukur dalam perjanjian lama identik dengan memberikan yang terbaik dan sempurna bagi Allah. Yaitu korban yang tak bercacat. Setiap orang yang hendak memberi korban syukur harus dengan kejujuran dan tidak dengan berbohong. Mereka diwajibkan memberi persembahan berdasarkan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sesuai berkat Tuhan yang ada padanya. Kalau orang kaya yang sanggup membawa domba, maka yang dibawa haruslah domba, tidak boleh burung tekukur. Mereka melakukan ini semua sebagai wujud ucapan syukur atas karya keselamatan dari Allah yang maha ajaib terjadi dalam kehidupan mereka.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Dalam konteks Perjanjian Baru, kita tidak lagi mempersembahkan korban syukur melalui kurban hewan, tapi kita datang di hadirat Tuhan dengan mempersembahkan diri sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada-Nya. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa ibadah syukur yang sejati adalah ibadah secara keseluruhan hidup kita dan secara pribadi kita membawa diri kepada Tuhan. Yang diharapkan oleh Allah adalah kehadiran langsung diri kita di hadirat-Nya. Adapun kalau kita membawa persembahan “materil” dalam setiap ibadah yang kita lakukan, itu adalah bentuk jawaban atas panggilan kita dalam mendukung operasional pelayanan bagi persekutuan hidup di dalam dunia ini bagi kemuliaan Tuhan.
Melaui suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus menegaskan, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Ini mengajarkan kepada kita bahwa menghitung-hitung berkat Tuhan bukanlah berdasarkan materi semata yang kita terima atau yang bisa kita nikmati, tapi yang utama adalah berdasarkan kualitas penghayatan iman kita mengenai betapa besarnya kasih dan pengorbanan Yesus Kristus yang telah relah mati demi menyelamatkan kita. Itulah berkat yang sesungguhnya. Pengorbanan Yesus telah menjadi jaminan hidup dan sumber berkat dalam menjalani segala tantangan kehidupan di dunia sekarang ini menuju pengharapan kekal di dunia akhirat. Penghayatan demikian akan berdampak pada sebuah kesadaran iman setiap orang untuk senantiasa bertanya pada dirinya; sudah seberapa besar perubahan hidup pada dirinya, keluarganya dan orang-orang disekitarnya karena telah menikmati berkat keselamatan dari Allah di dalam Kristus Yesus.
Dari proses perenungan yang mendalam tentang kasih Allah yang begitu besar dan ajaib, yang telah menjadi korban keselamatan kepada kita, akan menggerakkan kita secara spontan dan tulus datang kepada-Nya membawa kehidupan kita sebagai persembahan syukur melalui puji-pujian dan berbagai bentuk pelayanan dan kesaksian yang bisa kita perankan. Dalam Ibrani 13:15, dikatakan, “Sebab itu marilah kita, oleh Dia, senantiasa mempersembahkan korban syukur kepada Allah, yaitu ucapan bibir yang memuliakan nama-Nya”. Dengan mulut kita memuji dan memuliakan nama Tuhan. Hal Ini menjelaskan kepada kita bahwa bersyukur adalah satu nilai ibadah yang berkenan kepada Tuhan. Jadi, ucapan syukur antara lain diwujudkan dengan puji-pujian. Puji-pujian adalah suatu reaksi iman untuk menyadari dan mengakui kebesaran karya Tuhan.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Jika pada saat ini kita boleh berkumpul dalam suasana syukur bersama dengan segenap keluarga di tempat ini, tentunya karena ada begitu banyak peristiwa penting yang membawa kesan yang baik bagi keluarga, dan itulah yang dijadikan alasan oleh keluarga dalam menyatakan ungkapan syukurnya. Namun di balik alasan-alasan tersebut, sebenarnya yang menjadi dasar pokok kita dalam menyatakan ungkapan syukur, tidak lain adalah karena Yesus Kristus telah berkorban demi menyelamatkan kita. Jaminan Keselamatan itulah yang memungkinkan keluarga untuk tetap berharap kepada Tuhan dalam menjalani berbagai rencana dan tantangan kehidupan pada waktu-waktu yang lalu. Dan kasih-setia Tuhan sungguh terbkti. Tuhan boleh menyatakan kemurahan-Nya, menyertai keluarga hingga paa saat ini, bahkan memberinya sukacita; ( pengkhotbah dapat menyebutkan alasan keluarga bersyukur; apakah karena kesuksesan dalam pekerjaan, mengalami pertambahan umur, sembuh dari penyakit, dan sebagainya).
Sangat penting juga untuk kita pahami, bahwa kita mengucap syukur bukan semata-mata karena kita mengalami hal-hal yang kita anggap baik dan menyenangkan, namun terlebih karena kita memiliki Allah yang Mahabaik. Kita mengucap syukur, bukan pula karena pemberian Allah secara materil semata-mata, melainkan karena Allah itu telah memiliki hidup kita seutuhnya dan kita memiliki Dia melalui Yesus Kristus.

Mengucap syukur dalam keadaan baik, tentu semua orang bisa melakukannya. Tetapi mengucap syukur dalam segala hal tidak semua orang bisa melakukannya. Mungkin kita lebih mudah bersungut-sungut dari pada mengucap syukur bila keadaannya kurang baik menurut penilaian kita. Bukan berarti kita mengucap syukur atas malapetaka atau kemalangan yang menimpa kita. kita mengucap syukur bukan pada keadaan yang buruk. Tetapi mengucap syukur kepada Tuhan bahwa sekalipun keadaannya buruk, Dia pasti menolong dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita. Bukankah Dia dengan relah telah menjadi korban persembahan menggantikan kita agar kita memperoleh keselamatan dan kebahagiaan hidup? Oleh karena itu, mari kita menyembah Dia dengan tubuh kita, bahkan dengan seluruh kehidupan kita. Itulah ibadah kita yang sejati. Itulah ungkapan syukur yang sejati yang dikehendaki oleh Allah. Terpujilah Tuhan. Amin!

Monday, June 13, 2016

SIAP MENGHADAPI KEMATIAN


SIAP MENGHADAPI KEMATIAN
(I Raja-Raja 2:1-12)

Saudara-saudara yang dikasihi oleh Tuhan,
Menghadapi perkara kematian tentunya bukanlah suatu hal yang baru dan asing bagi kita. Setiap orang pasti pernah mengalami perpisahan karena kematian atas orang yang dikasihinya. Namun demikian, belum ada orang yang punya pengalaman langsung mengalami kematian, lalu hidup kembali dan menceritakan pengalamannya kembali dari alam maut, menjelaskan secara detail mengenai rahasia-rahasia yang ada di balik kematian..Secara medis, memang dalam beberapa kasus, ada orang yang sudah divonis mati oleh dokter, namun ternyata kemudian dinyatakan masih hidup. Peristiwa kematian seperti ini kemudian dikategorikan sebaga mati suri ( hanya pingsan), dan belum mati sepenuhnya. Oleh karenanya, kematian tetap dianggap sebagai sesuatu yang penuh misteri.
Bagi sebagian orang, kematian adalah sesuatu yang menakutkan, karena itu segala daya upaya dicoba dilakukan manusia untuk menghindari apa yang disebut kematian, namun fakta berbicara bahwa kematian tetaplah terjadi. Bahkan datangnya tidaklah memandang umur atau status seseorang. Kematian bisa datang kapan saja, dimana saja dan dalam situasi hidup yang bagaimanapun. Kalau demikian, apakah sesungguhnya kematian itu dan bagaimana menghadapinya?
Sauadara-saudara yang dikasihi Tuhan.
Melalui bacaan ini, kita dibimbing untuk belajar pada sebuah sikap iman yang telah dipraktekkan oleh seorang hamba Tuhan dalam menjalani hidupnya, dan juga dalam menghadapi kematiannya. Daud sebagai seorang raja, secara umum dikenal sebagai pribadi yang sangat taat kepada Tuhan. Terlepas dari beberapa kelemahan dan kekeliruan yang pernah dilakukannya di hadapan Tuhan sebagai manusia yang lemah. Ia telah belajar tentang banyak hal melalui pengalaman hidupnya dalam menghadapi berbagai realitas hidup yang telah dilaluinya. Teristimewa pengalamannya dalam bergaul dengan Allah. Melalui hubungan akrabnya dengan Tuhan, ia memperoleh suatu pemahaman bahwa sebagai manusia yang adalah ciptaan, tidak ada yang abadi pada dirinya. Ia diajar untuk memahami bahwa tidak ada sesuatupun yang kekal di dalam dunia ini. Baik atas kekuatan, kekayaan dan kedudukan yang dimilikinya, pun kehidupan yang sementara dijalaninya. Semuanya ada batasnya.. Hanya Allah sajalah yang abadi dan kuasa-Nya kekal. Sebab Dialah Sang Pencipta, khalik langit dan bumi.
Ia memahami bahwa hidup yang sementara  dijalaninya suatu saat akan tiba pada kematian. Namun bukan berarti bahwa hidup ini bukan tanpa tujuan dan tanpa makna. Justru melalui kehidupan yang terbatas inilah manusia ditantang untuk memaknainya secara benar sesuai ketetapan-ketetapan Allah. Yang apabila syarat dan ketentuan itu dipenuhi maka setiap orang akan dimahkotai dengan kemuliaan dan kehidupan kekal dari Allah, sekalipun orang tersebut telah meninggal.
Keyakinan inilah yang melatari segala sikap hidup Daud sehingga senantiasa berupaya menyatakan kesetiaan dan ketergantungannya kepada Allah dalam menghadapi segala situasi hidup; baik dalam suka maupun dalam duka. Daud secara sadar dan dengan penuh hikmat telah belajar untuk memaknai hidup yang dianugerahkan Allah kepadanya. Oleh imannya, Daud tidak takut ataupun gentar dalam menghadapi masa kematiannya. Bahkan secara sadar juga, ia telah mempersiapkan dirinya, keluarganya untuk bagaimana menghadapi kematiannya ketika sudah waktunya tiba.
Dikisahkan dalam bacaan ini; bahwa semasa hidupnya hingga menjelang akhir hayatnya, Daud senantiasa mempertahankan keyakinan imannya di hadapan Tuhan. Dan ia mau agar keyakinan itu boleh diwarisi oleh anak-anaknya. Oleh karena itu, saat kematiannya mendekat, ia berpesan kepada Salomo, anaknya, katanya,”Aku ini akan menempuh jalan segala yang fana, maka kuatkanlah hatimu dan berlakulah seperti laki-laki. Lakukanlah kewajibanmu dengan setia terhadap Tuhan, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkannya….,supaya engkau beruntung dalam segala yang kau lakukan dan dalam segala yang kautuju…!” (ay.1-3)
Itulah pengajaran yang sangat indah dan warisan keteladanan  yang sangat berharga yang telah ditinggalkan oleh Daud kepada anak-anaknya. Bahwa menjalani kehidupan yang Allah anugerahkan kepada kita mesti dimaknai secara baik dan benar dengan melakukan praktek hidup yang sesuai dengan ketetapan atau perintah Allah. Dan ketika ajal menjemput, mengantar pada kematian, maka itu harus dihadapi dengan kesiapan iman tanpa mesti takut atau kuatir. Karena ada jaminan pengharapan bahwa di balik segala kesetiaan iman yang dinyatakan di hadapan Allah, Allahpun telah mempersiapkan sebuah mahkota kehidupan yang kekal sehingga kita senantiasa disebut sebagai orang yang beruntung. Sebab hidup yang kita jalani dengan ketaatan kepada Allah selama kita di dunia ini akan bermuarah pada tujuan yang sangat mulia, yaitu kehidupan yang kekal di sorga kelak.
Saudara-saudara yang dikasihi oleh Tuhan,
Menghadapi suasana duka atas kepergian orang yang kita kasihi, marilah kita belajar meneladani sikap iman yang telah dipraktekkan oleh Daud. Bahwa menghadapi setiap peristiwa kematian; baik yang telah terjadi atas orang yang kita kasihi, maupun kematian yang suatu saat juga akan kita hadapi secara langsung, hendaklah kita menghadapinya dengan sikap iman yang teguh, supaya kita tidak kehilangan pengharapan dan tujuan hidup. Bahkan biarlah peristiwa kematian ini senantiasa menjadi perenungan bagi kita yang masih hidup untuk senantiasa mawas diri dan tidak larut dalam perkara-perkara duniawi di sini semata-mata, melainkan juga secara arif dan bijkasana mempersiapkan masa depan kita di dunia akhirat, yaitu sorga. Memang, belum ada seorang pun yang pernah mamiliki pengalaman tentang kematian dan menjelaskannya kepada kita mengenai segala rahasia di balik kematian. Namun satu yang pasti, bahwa Allah sendiri telah membuka rahasia itu kepada manusia melalui kematian dan kebangkitan anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus.
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu. Yaitu kamu, yang sementara dipelihara dalam kekuatan Allah oleh imanmu, sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada akhir zaman.” Amin!



JANGAN MELUPAKAN TUHAN


JANGAN MELUPAKAN TUHAN
(Yakobus 4:13-15)

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Mengawali perenungan kita pada saat ini, marilah kita bertanya terlebih dahulu pada diri kita masing-masing, adakah kira-kira di antara kita saat ini yang tidak memiliki suatu rencana dalam menjalani hidup ini…? Saya yakin, setiap orang pasti memilikinya. Bahkan, mungkin ada berbagai macam rencana yang telah kita rancang masing-masing untuk kita realisasikan demi mencapai tujuan masa depan hidup kita. Perencanaan merupakan salah satu faktor yang sangat penting, dan perlu diperhatikan dalam menjalani kehidupan di dunia ini.  Dengan perencanaan yang baik dan matang, diharapkan langkah hidup kita dapat berjalan lebih teratur dan terarah pada suatu sasaran yang ingin dicapai.
Yesus Kristus sendiri sangat menekankan pentingnya sebuah rencana dalam menjalani hidup, khususnya dalam mengawali dan menyelesaikan sebuah pekerjaan. Dia mengatakan bahwa, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.” (Luk 14:28-30).
Segala sesuatu perlu rencana. Hidup yang terencana merupakan suatu bukti bahwa kita mempunyai target. Tidak sekedar menjalani hidup. Sekaligus juga sebagai pertanda bahwa kita sangat menghargai setiap waktu, potensi dan sarana hidup yang Tuhan anugerahkan.  Dalam setiap bentuk perencanaan, mesti disertai komitmen dan usaha untuk mewujudkannya, agar rencana-renaca yang kita bangun tidak sekedar mimpi dan angan-angan belaka.

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Menjadi pertanyaan bagi kita sekalian, dengan mempersiapkan sebuah rencana yang matang disertai tekad dan kerja keras, apakah sudah cukup menjadi jaminan untuk meraih keberhasilan...? Nah, disinilah pokok persoalan yang sering kita abaikan. Sebuah perencanaan dan perjalanan hidup kita baru bisa mencapai kesempurnaan dan memberi makna yang sesungguhnya apabila Tuhan dilibatkan di dalamnya.  Yakobus memberi peringatan agar jangan pernah kita melupakan Tuhan dalam setiap perencanaan hidup.
Melalui bacaan ini, Yakobus menyoroti kebiasaan buruk kita selaku manusia yang sering tidak melibatkan Tuhan dalam berbagai rencana kehidupan kita. Mungkin ada saat-saat tertentu dalam kehidupan kita, kita tidak lagi melibatkan Tuhan dalam rencana-rencana hidup kita, karena kita masih merasa mampu mengatur langkah hidup kita sendiri.  Terkadang, dengan mengandalkan pengalaman, kepintaran, kekuatan, kecanggihan teknologi, uang atau kekayaan yang kita miliki, kita mengira bahwa apa yang kita rencanakan dan kerjakan pasti berhasil.
Dengan tegas, Yakobus mengkritik praktek hidup dan cara berpikir seperti ini. Ia mengatakan, “Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung’, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap (ay.14). Perjalanan kehidupan ini tidak selurus dan semulus yang kita bayangkan. Harapan dan kenyataan tidak selamanya berbarengan. Terkadang ada  hambatan  yang tidak pernah kita harapkan, sementara kita hanya bisa menduga-duga dan mengira-ngira. Oleh karena itu, Yakobus menyarankan agar dalam setiap perencanaan, kita selalu mengatakan bahwa, “jika Tuhan menghendakinya maka kami akan berbuat ini dan itu” (ay.15).

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Coba kita renungkan secara mendalam, seberapa sering kita menjalani rutinitas bangun-tidur kita setiap hari, melakukan aktivitas hidup kita tanpa berdoa kepada Tuhan, meminta agar Tuhan menyertai kita dalam seluruh keberadaan kita? Atau sebaliknya. Sudah seberapa sering, sebelum kita melakukan suatu perjalanan; dengan berjalan kaki, mengendarai mobil atau sepeda motor, terlebih dahulu kita tunduk sejenak berdoa memohon Tuhan melindungi kita agar sampai di tempat tujuan dengan selamat? Sudah seberapa sering sebelum bekerja, terlebih dahulu kita berdoa meminta Tuhan terlibat dan memberkati apa yang kita lakukan di tempat kerja? Atau sudah seberapa sering kita menjalani hari-hari hidup kita, sungguh-sungguh telah melibatkan Tuhan, biar Tuhan yang mengaturnya?
Cobalah periksa diri kita masing-masing, apakah selama ini kita telah menempatkan Tuhan dalam kehidupan kita pada posisi yang semestinya? Apakah ketika kita memulai hari-hari hidup kita, kita sudah mengawalinya dengan mengharapkan dan mengandalkan perlindungan kasih Tuhan? Apakah kita telah menjadikan Tuhan sebagai sumber segala berkat; rohani maupun jasmani? Apakah kita telah menjadikan diri kita sebagai orang berkenan di hati Tuhan karena kepercayaan kita kepada-Nya, sehingga berkat-berkat Tuhan terus mengalir kepada kita? Mari kita mengandalkan Tuhan dalam segala aspek dan aktivitas kehidupan kita. Jangan kita hanya mengandalkan kemampuan kita sendiri, melainkan yang utama adalah harus mengandalkan Tuhan dalam segala hal. Bukankah hidup kita hanya sebentar saja, jika dibandingkan dengan kekekalan Allah? Yakobus mengibaratkan hidup kita di dunia ini sebagai uap yang hanya kelihatan sebentar saja, lalu kemudian lenyap.
Oleh karena itu saudara-saudara, dalam rangkaian dengan persiapan kegiatan yang kita rencanakan pada saat ini… (sebutkan rencana kegiatan apa……), marilah kita sungguh-sungguh mengarahkan segala pengharapan hidup kita hanya ke dalam tangan Tuhan. Biarlah campur tangan Tuhan yang selalu kita nantikan, mengatur segala langkah-langkah perencanaan dan pekerjaan yang akan kita lakukan, sehingga oleh bimbingan Roh Kudus kita senantiasa diberikan hikmat dan pengertian untuk mengikuti segala jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya. Sebab Tuhan pasti membuat segala sesuatu menjadi indah pada waktunya.
Firman Tuhan yang kita baca ini mengajarkan kepada kita bahwa segala usaha kita sebagai manusia dalam perencanaan apapun, akan menjadi sia-sia jika hanya mengandalkan kekuatan kita semata-mata. Hal ini berarti, Tuhanlah yang harus menjadi dasar dalam segala aktivitas kita, bahkan dalam rencana dan pekerjaan kita yang terkecil sekalipun. Orientasi hidup yang benar adalah untuk memuliakan nama Tuhan. Karena segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya (Rm 11:36). Terpujilah nama Tuhan. Amin!


Sunday, June 12, 2016

HENDAKLAH HATIMU MELIMPAH DENGAN SYUKUR

HENDAKLAH HATIMU MELIMPAH DENGAN SYUKUR
( Kolose 2:6-7)

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Kalau kita berbicara mengenai hal mengucap syukur, mungkin banyak orang berpikir bahwa mengucap syukur adalah perkara yang gampang saja dilakukan karena hanya sekedar diucapkan lewat bibir. Namun sesungguhnya perkara mengucap syukur tidaklah sesederhana itu. Terbukti, dalam realitanya, mengucap syukur masih merupakan suatu perkara yang sulit kita lakukan dalam kehidupan kita.  Jangankan dalam kondisi susah dan berbeban berat, saat segala sesuatu berjalan dengan baik dan normal pun ternyata kita begitu sulit untuk mengucap syukur. Bahkan lebih banyak kita melupakannya. 
Jika kita teliti, banyak sekali penjelasan dalam firman Tuhan yang membahas tentang arti atau hakekat ucapan syukur.  Antara lain, kita dapat belajar dari kisah hidup Rasul Paulus yang merupakan perwujudan langsung dari rasa syukurnya atas segala kasih karunia Tuhan. Paulus adalah seorang rasul yang telah mengabdikan seluruh hidupnya di hadapan Tuhan sebagai pembuktian atas kesediaannya setia berjerih lelah dalam pelayanan. Dalam surat-suratnya, rasul Paulus secara panjang lebar memaparkan bahwa ada begitu banyak hambatan, tantangan dan ancaman yang silih berganti ia alami sekaitan dengan tugas kesaksian dan pelayanannya. Tetapi dari mulutnya tidak pernah sepatah kata pun keluar kata-kata sungutan, umpatan, frustrasi dan putus asa.
Malah dalam situasi yang sedemikian rumit, Rasul Paulus mampu memberi motivasi kepada segenap orang percaya supaya mereka senantiasa mengucap syukur dalam segala situasi hidup. Sebab dengan selalu mengucap syukur, sebenarnya kita memperlihatkan kualitas pertumbuhan rohani kita. Penampakan pertumbuhan rohani ini sekaligus juga menunjuk kepada kualitas kedewasaan iman kita. Kalau kita tidak pernah mengucap syukur atau malah sering bersungut-sungut dalam hidup, berarti iman kita tidak bertumbuh, kerohanian kita menjadi kerdil, bahkan mungkin sudah mati. Rasul Paulus menulis: "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur" (ay. 6-7).
Artinya, hal mengucap syukur sesungguhnya merupakan suatu elemen penting dalam kehidupan orang percaya yang tidak boleh diabaikan dan disepelekan.  Karena melalui ucapan syukur, kita menyatakan iman pengharapan dan ketergantungan kita kepada Allah sebagai Sang pemilik dan pemberi kehidupan. Melalui ucapan syukur yang kita nyatakan, berarti kita juga mau memberi diri untuk dipakai oleh Allah. Oleh hikmat dari Allah, seluruh sikap hidup dan kata-kata kita dapat menjadi berkat bagi setiap orang yang kita jumpai.
Kita mengucap syukur bukan karena tergantung pada keadaan secara lahiriah; baik atau buruk, tetapi kita mengucap syukur karena kita memiliki Tuhan yang layak untuk diandalkan menopang kita dalam menghadapi segala tantangan dan situasi hidup; bahwa sekalipun keadaannya buruk, Tuhan pasti menolong dan menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita. Demikianlah hendaknya sikap hidup setiap pribadi yang telah mewarisi karakter yang dibentuk di dalam Kristus. Keyakinan iman yang tidak tergoyahkan, sekalipun dalam situasi yang kurang bersahabat. Apa yang Rasul Paulus telah ajarkan dan praktekkan merupakan teladan bagi kita sebagai anak-anak terang. Melalui cara hidup yang senantiasa mengucap syukur, kita menampilkan karakter atau kepribadian yang selalu membawa energi positif. Cara pandang dan cara pikir yang demikian akan mampu mengubah keadaan dari negatif menjadi positif, dari buruk menjadi baik.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Bila  kita merenungkan kasih dan kebaikan Tuhan, sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mengucap syukur kepada-Nya, bahkan ucapan syukur itu semestinya seperti nafas hidup kita yang tak pernah berhenti berhembus selama kita masih hidup.  Namun seringkali ucapan syukur keluar dari mulut kita hanya saat kita menikmati dan mengalami hal-hal yang baik dari Tuhan.  Ketika hal-hal yang tidak baik  (menurut penilaian kita)  terjadi dan menimpa hidup kita, sulit sekali kita mengucap syukur kepada Tuhan. Sebaliknya, yang keluar dari bibir kita hanya ungkapan kekecewaan, kekesalan, keputusasaan, sungut-sungut, omelan dan bahkan kita terkadang menyalahkan Tuhan.
Hal-hal yang baik atau buruk, keberhasilan atau kegagalan, sakit atau sehat, dalam kelimpahan atau kekurangan, suka atau duka, adalah sebuah dinamika yg akan selalu mewarnai perjalanan kehidupan kita selaku manusia.  Namun satu hal yang harus senantiasa menjadi keyakinan kita ialah bahwa,  "...Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan"  (Roma 8:28). Karena itu, tetaplah mengucap syukur apa pun keadaannya. Sebab itulah yang membedakan kita sebagai orang percaya dengan orang yang tidak mengenal Tuhan. Membangun kesadaran hati yang bersyukur kepada Tuhan akan menjadi mudah kalau kita senantiasa mau melihat seluruh kebaikan Tuhan atas hidup kita melalui mata iman.
Bagaimana kita menyatakan syukur kita? Tidak lain adalah dengan senantiasa menyatakan sikap hati yang benar dan sikap hidup yang berkenan di hadapan Tuhan. Itu berarti, hal mengucap syukur bukan sekedar ucapan pemanis di bibir, namun lebih pada soal pemaknaan hidup sebagai bentuk penghayatan iman yang sungguh tentang kebesaran kasih Tuhan di dalam Kristus Yesus yang telah menyelamatkan kita. Oleh karena itu, hanya dengan tetap hidup di dalam Kristus, berakar dan dibentuk di dalam Dia, hati kita senantiasa mengalami limpahan syukur.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Ada sebuah cerita yang dapat dijadikan sebagai ilustrasi untuk menjelaskan bagaimana seseorang harus bersyukur dalam situasi apa pun dalam hidunya. Diceritakan, ada seorang raja yang gemar berburu dengan pengawalnya. Pada suatu hari ketika sang raja sedang berburu, ia mendapatkan kecelakaan dan sungguh malang,  ibu jari tangan sang raja terpotong oleh sabetan pisau yang sangat tajam hingga harus kehilangan jari jempolnya. Sang raja sangat marah dan memanggil pengawalnya yang setia menemaninya berburu. Sesampainya di istana, dia berkata kepada pengawalnya, “bagaimana denganmu sebagai pengawal, aku kehilangan jari jempolku, kenapakah engkau tidak menjagaku dengan benar, tidak kah kau tahu, aku sangat membutuhkan jari jempolku?” Maka sang pengawal berkata,” Tuanku baginda raja, yang sudah terjadi, relahkanlah dan bersyukurlah tuanku baginda raja, sebab yang hilang hanya jari jempol, untung saja bukan nyawa raja yang hilang”.
Akibat perkataan sang pengawal yang dianggap kurang ajar itu,sang raja sangat marah dan menyuruh pengawal yang lain menangkap dan memenjarakan pengawal tersebut. Setelah peristiwa tersebut, ternyata sang raja tidak meninggalkan kebiasannya berburu. Hingg pada suatu hari,  ia dan pengawalnya masuk ke dalam hutan yang sangat lebat dan mereka tertangkap oleh suku primitif yang memiliki tradisi mempersembahkan manusia sebagai korban persembahan kepada dewa mereka. Setelah sampai pada waktu memberikan korban persembahan kepada dewa, mereka memulainya dari raja, namun mereka melapaskan raja karena sang raja tidak memiliki jempol, dan dianggap tidak sempurna. Dan semua pengawalnya di jadikan korban persembahan kepada dewa  karena memiliki organ tubuh yang lengkap.
Singkat cerita sang raja kembali ke istana dengan selamat dan meyuruh pengawalnya untuk melepaskan pengawal yg dulu ia penjarakan. Setelah pengawal tersebut menghadap raja, sang raja berkata, ”pengawalku yang baik, aku bersyukur karena dulu aku kehilangan jempol,  dan olehnya aku dapat luput dari kebinasaan. Terimakasih untuk nasehatnya dan maafkan aku telah memenjarakanmu”. Tapi sang pengawal berkata kepada raja, “Tuanku baginda raja, aku lebih bersyukur lagi dan berterima kasih kepada raja, jika seandainya aku tidak dipenjarakan oleh raja, mungkin aku juga telah mati karena dijadikan persembahan oleh suku primitif, seperti yang dialami para pengawal yang lain”. Sang raja kemudian berkata, “baiklah, mari kita sama-sama bersyukur”.
Ilustrasi dalam cerita ini hendak memberi pesan kepada kita bahwa, bersyukurlah atas segala apa yang terjadi di dalam kehidupan kita, karena sebenarnya semua itu mendatangkan kebaikan kepada kita walaupun saat ini kita belum dapat menyelaminya. Mungkin ada yang tidak terlalu suka kepada kita, bersyukurlah..! Kita memiliki banyak sahabat, bersyukurlah..! Kita memiliki harta yang banyak, bersyukurlah..! Kita belum memiliki banyak hal seperti yang kita harapakan,  bersyukurlah..! Kita mengalami suka cita, bersyukurlah..! Intinya, hendaklah hatimu senantiasa melimpah dengan syukur..!  Amin!



PERINTAH ALLAH DALAM PERNIKAHAN


PERINTAH ALLAH DALAM PERNIKAHAN
(Efesus 5:22-28)

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Menjalani kehidupan kita sebagai manusia di dunia bukanlah sebuah kehidupan yang kebetulan, atau tanpa tujuan. Kehidupan yang kita jalani melalui berbagai aktifitas setiap saat adalah sebuah kehidupan  yang direncakan dan dirancang oleh Allah sendiri untuk sebuah tujuan yang sangat mulia, yaitu melayani dan memuliakan Allah. Manusia adalah mandataris Allah yang dipanggil untuk mengambil peran merealisasikan tujuan kehidupan itu di dalam dunia. Dan di balik mandat tersebut, Allah memperlengkapi manusia dengan akal pikiran dan sarana-sarana lainnya. Oleh karena itu, manusia diberi predikat sebagai ciptaan Allah yang paling mulia.
Ada begitu banyak perintah Tuhan yang dijabarkan dalam Alkitab sebagai tugas panggilan bagi manusia untuk dilakukan demi pencapaian tujuan di balik rencana Allah. Salah satunya adalah melalui tanggungjawab suami dan istri dalam sebuah ikatan pernikahan.
Sebelum melaksanakan pelayanan pemberkatan nikah, biasanya majelis gereja memanggil kedua pasangan calon mempelai mengikuti katekisasi nikah. Dan dalam percakapan tersebut, ada beberapa pertanyaan yang sering diajukan kepada mereka untuk dijjawab dan digumuli, antara lain: “Kenapa mereka ingin menikah? Atau apa motivasi mereka menikah? Apa sesungguhnya tujuan Allah di balik pernikahan? Pertanyaan-pertanyaan ini kelihatan sepele, tetapi memiliki makna yang begitu dalam. Menjawab pertanyaan tersebut, tentunya ada berbagai macam argumen penjelasan yang bisa dilontarkan sebagai jawaban atasnya.
            Melalui pembacaan ini, kita dapat melihat beberapa pokok penting yang perlu kita pahami dalam kaitannya dengan tanggungjawab di balik pernikahan dalam membangun sebuah keluarga. Pernikahan adalah relasi dua arah dan seimbang. Kedudukan suami tidak lebih tinggi daripada istri. Begitu juga kedudukan istri tidak lebih tinggi daripada suami. Yang satu tidak lengkap tanpa yang lain. Pernikahan adalah sebuah panggilan bagi masing-masing, suami dan istri, untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya.  Dari bacaan kita, setidaknya ada dua (2) hal sebagai perintah dari Allah yang dapat kita renungkan dan praktekkan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun sebuah pernikahan kudus:

Perintah untuk tunduk kepada suami
Apa yang mendasari sehingga istri harus tunduk kepada suaminya? Apakah makna sesungguhnya dari kata ‘tunduk’ di sini? Tunduk adalah syarat keanggotaan dalam suatu persekutuan, termasuk persekutuan dalam keluarga. Tanpa ketundukan, mustahil tercipta kerukunan, ketertiban dan keharmonisan. Tunduk adalah perintah yang Tuhan berikan kepada istri agar dapat menghargai peran suami selaku imam dan pemimpin dalam rumah-tangga. Hanya dengan menerapkan sikap ini hubungan keduanya akan senantiasa langgeng. Tunduk tidak berarti tidak berpendapat, namun lebih pada pengertian menaruh rasa hormat. Sebab pernikahan sejati adalah sebuah penyatuan antara laki-laki dan perempuan; lahir dan batin.
Istri tunduk kepada suami bukan berarti istri boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya, melainkan sebuah cerminan kasih dan penjabaran dari ketaatan kepada Tuhan. Sebab jika seseorang istri tidak tunduk kepada suami sebagai  wakil Tuhan maka otomatis hidupnya akan kacau dan tidak memiliki tujuan.

Perintah untuk Mengasihi istri
Allah telah menetapkan keluarga sebagai kesatuan dasar sebuah masyarakat. Setiap keluarga harus mempunyai seorang pemimpin. Dalam Alkitab, suami adalah pemimpin di dalam rumah-tangganya, dan ia berkewajiban untuk mengasihi istri dan anak-anaknya. Hal ini adalah sebuah tanggungjawab dari Allah. Oleh karena itu, sifatnya mutlak dan bukan sebuah pilihan. Seorang laki-laki yang baru menikah tidak dalam posisi dimana ia bisa memilih apakah ia ingin mengasihi istrinya atau tidak. Dia harus mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri, sesuai dengan firman Tuhan. Tidak ada tawar-menawar. Tidak bisa seorang suami berkata, “Ah, hari ini saya istrahat untuk mengasihi istri saya.”, atau “Istri saya hari ini kurang menarik penampilannya, saya malas mengasihi dia hari ini.” Tidak bisa! Mengasihi adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan karena merupakan perintah langsung dari Tuhan. Hal yang sama berlaku juga untuk istri yang telah ditetapkan Tuhan untuk menjadi penopang dan penolong sang suaminya.
Kasih Kristus adalah dasar yang kuat dalam membangun keutuhan rumah-tangga. Mengasihi adalah kesedian untuk mau berkorban. Kasih yang sejati selalu ditandai dengan pengorbanan dan pengabdian yang tulus. Suami yang mengasihi istrinya selalu berusaha menyenangkan dan membahagiakan istrinya, sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan. Suami haruslah memberi perhatian bagi kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani istrinya dan anak-anaknya. Tanggungjawabnya yang pertama adalah mendorong istrinya agar mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan, tentunya setelah suami mempunyai hubungan yang baik pula dengan Tuhan .
Mengasihi adalah kemampuan dalam mempertanggungjawabkan kuasa dari Tuhan dengan kerendahan hati (Yoh. 13:3-4). Kekuasaan dalam rumah tangga harus tetap berada pada suami, karena memang sudah diberikan kepadanya. Tetapi haruslah dirasakan bukan sebagai haknya, tetapi sebagai kewajibannya. Jangan pernah memikirkan kekuasaan tanpa memikirkan tanggung jawabnya. Para suami harus membuang keangkuhannya, ego. Seperti Tuhan Yesus sendiri telah merendahkan diri kepada para murid-Nya. 

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Dengan memperhatikan dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang telah diuraikan tersebut, maka setiap keluarga yang telah diikat dalam sebuah janji pernikahan kudus akan mengalami pertumbuhan rohani. Pertumbuhan mengakibatkan seseorang menghasilkan buah-buah yang baik dan memampukan dirinya untuk kuat menghadapi setiap godaan dan pergumulan.Karena mereka dimampukan dalam mendengarkan suara Tuhan dan menangkap apa yang Tuhan inginkan untuk mereka lakukan dalam kehidupan rumah-tangga segenap hidupnya.
Ketika rasa saling menghormati dan saling mengasihi sungguh-sungguh dinyatakan sebagai karakter diri dan budaya diri dalam keluarga, maka di situ akan melahirkan kebahagiaan hidup. Dan ketika kebahagiaan hidup telah dinikmati, berarti Allah telah dimuliakan dalam rumah tangga tersebut. Itu berarti tujuan di balik rencana dan rancangan Allah atas pernikahan telah dipenuhi.
Semoga Roh Kudus memampukan setiap rumah-tangga Kristen untuk senantiasa mau menjadi sarana di mana Allah hadir menyatakan rencana dan kehendak-Nya.  Alangkah indahnya sebuah rumah tangga yang di dalamnya satu sama lainnya terdorong untuk saling menghormati dan saling melayani di dalam kasih. Sebab di mana ada kasih dinyatakan, ke sanalah Tuhan mencurahkan berkat-Nya. Amin!




Tuesday, June 7, 2016

Hikmat Menuntun kepada Kebenaran

Hikmat Menuntun kepada Kebenaran
Pemahaman terhadap teks
Bagi sebagian orang, hikmat mungkin merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi dalam diri orang-orang tertentu hikmat adalah realitas yang hidup. Hikmat dapat didefinisikan sebagai kemampuan/kepandaian dalam menjalankan kehidupan berdasarkan kebenaran Allah. Beberapa orang bijak yang dikisahkan dalam Alkitab telah mempraktekkannya menjadi gambaran-gambaran yang lebih kongkrit.
Kitab Amsal sebagian besar ditulis oleh Salomo (dan Salomolah yang lebih menonjol). Kalau Daud dikenal sebagai sumber tradisi bermazmur di Israel, maka Salomo dikenal sebagai sumber tradisi hikmat di Israel. Salomo menghasilkan 3000 amsal dan 1005 kidung semasa hidupnya.
Tema sentral yang disampaikan dalam kitab amsal adalah ajakan berhikmat untuk hidup dengan benar. Sebuah hikmat yang berawal dari sikap hidup yang mau tunduk dengan penuh kerendahan hati kepada kedaulatan Allah.  Amsal merupakan terjemahan dari kata ‘marshal’ (bahasa Ibrani) yang berarti; ucapan orang bijak, perumpamaan, atau peribahasa berhikmat. Amsal- amsal ini digubah untuk mengajar umat Allah; tentang bagaimana hidup yang berhikmat; menyenangkan Dia dengan menjauhi praktek hidup dalam dosa. Dalam kitab  amsal, pasal 8 hikmat dipersonifikasikan (dilukisakan seperti orang) bagaikan suara yang berseru-seru menyapa setiap orang di tempat-tempat terbuka, yang aktif mengundang; dari ketinggian, di persimpangan jalan-jalan, di samping pintu-pintu gerbang, pada jalan masuk di depan kota, agar semua orang memiliki kesempatan untuk mendengar panggilannya dan meresponnya dengan benar (1-4). Panggilan hikmat disertai pemberitahuan tentang dampak positif yang akan diterima orang yang menghiraukannya. Hikmat memanggil siapa saja, termasuk orang-orang bodoh dan tak berpengalaman (5). Panggilan hikmat adalah panggilan untuk menerima tuntunan. Hikmat memanggil orang agar hidup dalam kebenaran (7).
Pada bagian sebelumnya (Amsal 1:20-33), panggilan hikmat disertai dengan pemberitahuan mengenai akibat buruk yang akan menimpa orang yang mengabaikannya. Kepada mereka yang mau mendengar, hikmat berjanji akan menyingkapkan kebenaran dan keadilan (7-8). Orang yang beroleh hikmat akan memperoleh sesuatu yang benar. Beroleh hikmat berarti beroleh sesuatu yang jauh lebih berharga daripada hal-hal yang dipandang berharga oleh dunia ini (11). Sekedar untuk diingat kembali, pada permulaan masa pemerintahannya, Salomo berdoa memohon hikmat dari Allah dan Allah mengabulkannya. Bahkan ia bukan hanya memperoleh hikmat tetapi juga kekayaan, kehormatan, dan umur panjang (1Raj. 2:9-13). Hikmat menawarkan hidup yang jauh lebih berkualitas dan bermakna. Hikmat menawarkan kepandaian dan pengetahuan yang benar untuk menjalani hidup (9-10, 12).
Hikmat yang dikisahkan dalam amsal pasal 8 diwujudkan dengan cara yang lebih sempurna melalui perwujudan logos (firman) di dalam diri Yesus Kristus  (band.Yoh. 1:1-18). Dengan menggunakan istilah firman, Yohanes memperkenalkan Yesus sebagai Sabda Allah yang telah menjadi pribadi yang nyata. Alkitab menyatakan Yesus Kristus sebagai “pelbagai ragam hikmat Allah” (I Kor.1:30, Ef. 3:10-11; Kol.2:2-3).
Menurut Yoh.16:12-15, Hanya ketika hikmat Allah memasuki hati kita, yaitu; motivasi, keinginan dan pikiran-Nya, maka kita bisa memiliki juga hikmat dan pengetahuan yang menuntun pada kebenaran hidup. Kristus tidak merahasiakan ajaran/kebenaran tertentu (Yoh.16:12), tetapi memang ada hal yang tidak dapat dipahami oleh orang-orang tertentu. Hal tersebut hanya dapat dipahami oleh orang yang taat, dan mempunyai suatu tingkat kedewasaan rohani. Untuk mencapai hal tersebut maka hanya Roh Allahlah, yang adalah Roh kebenaran akan bekerja dalam hati kita setiap saat dan dalam segala situasi hidup ( Yoh. 16:13-15).Dalam injil Yohanes, diberitakan bahwa Yesus sebelum ‘kenaikan-Nya ke sorga’ menjanjikan akan datangnya Roh Kudus (melalui hari pentakosta) yang diidentifikasi sebagai Roh hikmat yang mampu menghibur dan menuntun pada pengelolaan kehidupan yang berkenan bagi Allah.
Dalam Roma 5 : 1-11, Rasul Paulus menjelakan kepada jemaat di Roma tentang arti kehidupan orang Kristen yang telah menerima kemuliaan karena pembenaran dari Allah dalam iman kepada Kristus Yesus. Surat ini ditulis  Paulus melalui asistennya, Tertius, menjelang rencananya untuk kembali dari Korintus ke Yerusalem dalam rangka perayaan hari Pentakosta. Menurutnya, orang Kristen senantiasa mengalami kasih Allah dalam hati mereka melalui Roh Kudus, khususnya dalam menghadapi masa-masa sulit. Kata kerja ‘dicurahkan’ (ay.5) menyatakan suatu keadaan yang terus berlangsung sebagai hasil suatu tindakan sebelumnya; yaitu Roh Kudus terus menerus membanjiri hati kita dengan kasih. Pengenalan akan kasih Allah ini memberikan kepada kita suatu ‘kepandaian’ (hikmat) dalam menghadapi segala kenyataan hidup termasuk ‘kesengsaraan’, dan meyakinkan kita bahwa pengharapan kita di dalam Kristus Yesus bukanlah pengharapan yang kosong namun pasti. Paulus menyebutkan ‘kesengsaraan’ sebagai suatu ‘berkat’. Sebab kesengsaraan akan menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan sebab kasih karunia dan hikmat Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh kudus.

Pokok-Pokok yang dapat dikembangkan
Pada mulanya manusia diciptakan segambar dengan Allah. Bahkan hampir sama dengan Allah (Band. Maz 8:6, dan. PGT bab III butir 1-4). Konsekuensi dari kesegambaran ini memungkinkan manusia dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat; termasuk didalamnya dianugerahi  hikmat/pengetahuan, sebagaimana hakekat Allah yang adalah sumber hikmat. Dengan hikmat dari Allah manusia dimungkinkan untuk mengembangkan kehidupan yang benar di hadapan Tuhan.
Namun fakta kejatuhan manusia kedalam dosa merupakan suatu hal yang tidak terbantahkan dalam perjalanan sejarah kehidupan umat manusia (band. PGT bab III). Karena dosa, eksistensi kesegambaran manusia dengan Allah rusak, yang otomatis juga mengakibatkan manusia kehilangan kemuliaan dan hormat dari Allah; termasuk didalamnya kehilangan hikmat. Sebagai konsekuensi, manusia tidak lagi memiliki pengetahuan untuk hidup dengan benar di hadapan Allah.
Melalui banyak cara, termasuk melaui beberapa hamba-Nya yang diutus, Allah senantiasa menyerukan secara terbuka kepada seluruh umat manusia tentang panggilan untuk datang kembali kepada sumber hikmat yaitu Allah (Amsal pasal 8) namun manusia justru mencari kebenaran/kebaikan berdasarkan jalannya sendiri. Manusia lebih ‘menikmati’ hidup dalam keberdosaannya, yang tanpa disadari justru akan semakin membinasakannya.
Respon iman manusia terhadap pembenaran Allah di dalam Yesus Kristus memungkinkan terjadinya pemulihan, yang berarti juga diprlengkapinya kembali manusia dengan hikmat yang bersumber dari Allah yang akan menuntunnya untuk hidup dalam kebenaran Allah.
Manusia memang rapuh, namun Roh Kudus sebagaimana yang dijanjikan oleh Yesus Kristus (yang adalah juga Roh hikmat) akan  senantiasa menghiburkan umat-Nya untuk tetap teguh dalam pengharapan serta hidup dalam kebenaran Allah.
Aplikasi:
Sejatinya, setiap orang  tentunya merindukan agar hidup yang dijalaninya merupakan sebuah kehidupan yang berkualitas dan punya makna. Namun faktanya; tidak semua orang sungguh-sungguh bisa mewujudkan impiannya tersebut. Harapan dan kenyataan tidak selamanya berbarengan. Sebab ada orang yang hanya bisa ‘bermimpi’ namun tidak mau melewati proses yang benar  demi meraih impian tersebut. Hal itu disebabkan karena manusia tidak lagi memiliki hikmat/pengetahuan yang benar dalam menjalani setiap realitas hidupnya akibat dosa. Manusia sering membanggakan ‘kebaikan-kebaikan’ dan ‘kebenaran-kebenaran’ yang semu dan berpusat pada dirinya sendiri (moralisme). Moralisme adalah usaha manusia untuk menyelamatkan hidupnya tanpa Kristus. Moralisme bukanlah suatu pengudusan hidup yang digerakkan oleh keselamatan di dalam diri Yesus Kristus (band. PGT bab V butir 2).
Hikmat berkaitan dengan ‘takut’ akan Tuhan. Semakin kita takut dan hormat kepada Allah yang kita imani di dalam Yesus Kristus, maka semakin pula kita memiliki pengetahuan akan kebenaran-kebenaran Tuhan dan semakin kita menjauhi kejahatan. Kasih kita kepada Allah tidak mungkin berdampingan dengan kesukaan akan dosa! Bila kita berkata bahwa kita mengasihi Allah, tetapi masih melindungi dosa yang tersembunyi, itu berarti hikmat Allah belum ada pada kita, sebab kita masih membuka diri untuk bersahabat dengan si jahat. Maka yang harus dilakukan adalah memutuskan hubungan dengan dosa dan menyerahkan diri secara total kepada Tuhan. Pastikan bahwa semua segi kehidupan kita terbuka pada arahan dan pimpinan Roh Kudus saja. Hanya dengan jalan itu kita dibenarkan oleh Tuhan. Hidup yang dibenarkan karena hikmat yang bersumber dari Allah memungkinkan kita bisa menjalani hidup yang benar, berkualitas dan bermakna.