Wednesday, June 17, 2015

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL & MAKHLUK RELIGIUS



MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL & MAKHLUK RELIGIUS
( Kejadian 2 : 18 - 23 )
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Kristus Yesus,
Salah satu pertanyaan mendasar dan penting untuk kita renungkan bersama dalam ibadah pernikahan yang kita selenggarakan pada saat ini adalah, apakah sebenarnya pernikahan itu dan mengapa perlu ada pernikahan? Serta bagaimana seharusnya pernikahan itu diselenggarakan atau dijalani? Untuk menjawab pertanyaan berikut maka sebagai orang Kristen, sangat penting bagi kita untuk memahami hakekat diri kita selaku manusia- menurut kesaksian Alkitab. Atau dengan kata lain; seperti apa sebenarnya jatidiri kita sebagai  manusia ketika diciptakan?
Pertama, bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial
Maksudnya ialah, bahwa setiap orang, mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus berinteraksi dengan sesamanya. Setiap orang butuh kehadiran pihak lain dalam hidupnya. Kita hidup bukan oleh dan untuk diri kita sendiri, melainkan oleh dan juga untuk orang lain. Sejak awal
penciptaan, di dalam kitab kejadian, sangat jelas disampaikan bahwa Tuhan sudah mengingatkan pentingnya untuk mencermati akan hal ini. Alkitab memberi kesaksian bahwa pada awalnya, di taman Eden hanya ada Adam seorang diri. Itu berarti segala aktifitas hidupnya dilakukan seorang diri. Hidup sendiri, bekerja sendiri, makan dan tidur sendiri, serta masih banyak hal yang dijalani dalam kesendiriannya. Hari demi hari, segala aktifitasnya dijalani tanpa ada yang menolongnya. Hidupnya terasa hampa, sepi, dan serasa ada yang kurang. Dan  Allah sangat memahami tentang pergumulan Adam tersebut.
Selanjutnya kita menyaksikan,“Tuhan Allah berfirman; Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Lalu Allah menciptakan segala binatang hutan dan segala burung-burung di udara lalu membawanya semuanya itu kepada manusia untuk melihatnya…, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai ‘penolong yang sepadan’ dengan dia. Kemudian Allah mengambil salah satu rusuk dari Adam dan dibangunnyalah seorang perempuan lalu dibawanya kepadanya.
Manusia itu tidak baik kalau sendirian. Mengapa? Karena sejatinya kita diciptakan sebagai makhluk sosial dan bukan sebagai makhluk individu. Ia butuh penolong. Ia butuh teman dalam berpikir dan dalam bekerja. Ia butuh teman berbagi dalam suka maupun duka. Itulah sebabnya Tuhan mengatakan bahwa ‘sendirian itu tidak baik’. “Bukan salah, bukan tidak boleh, tetapi tidak baik!” Oleh karena itu manusia semestinya senantiasa berusaha dan harus mampu untuk menjalin hubungan atau ikatan kerjasama dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya, khususnya dalam mewujudkan impian-impiannya. Kodrat itulah yang mendorong manusia untuk selalu berusaha mencari pihak yang dianggapnya dapat menolongnya. Dalam interaksi sosial tersebut, manusia melakukan proses seleksi untuk mencari partnernya, karena tidak semua orang bisa diajak bekerjasama. Apalagi kalau hubungan itu diorientasikan pada hubungan dalam pernikahan.  Ada tahapan atau proses identifikasi; mencari orang yang dianggapnya memiliki komitmen dan pandangan yang sama dengan dirinya, serta memahami apa yang dicita-citakannya, dan bisa diajak bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama secara benar dan bertanggungjawab.
Setiap orang membutuhkan teman atau pasangan hidup dalam menjalani hari-harinya. Itulah latar belakang yang menjadi dasar pertimbangan, mengapa mesti ada pernikahan- karena manusia memang membutuhkan penolong bagi dirinya.
Kedua, Bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai mahluk religius
Bahwa setiap makhluk adalah ciptaan Allah. Allah-lah yang telah menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan. Allah jugalah yang berinisiatif dalam merencanakan dan memanggilnya untuk bersatu dalam ikatan pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan harus dijalani seturut dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Segala sesuatu yang dialami dan dilakukan hendaknya senantiasa menjadi bentuk ketaatan dan pengabdian kepada Sang Pencipta. Atau dengan kata lain, harus senantiasa menjadi sarana untuk memuliakan Allah. Setiap orang dalam
hidupnya telah diberikan kemungkinan oleh Allah untuk dapat mengetahui dan merespon kehendak-Nya. Manusia telah diperlengkapi dengan Akal budi yang baik. Sehingga apapun yang direncanakan dan dilakukannya diharapkan senantiasa sesuai dengan rencana dan kehendak Allah; termasuk dalam menjalani sebuah pernikahan. Manusia adalah mahluk yang ber-Tuhan. Manusia adalah mahluk religius atau beragama, dalam pengertian; ia butuh keteraturan, dan Allah adalah satu-satunya sumber keteraturan yang sempurna. Dan Allah pun telah memperlengkapinya dengan tata tertib untuk dapat hidup dalam kekudusan dan kesetiaan sebagaimana Allah sendiri kudus dan setia adanya. Petunjuk itu sudah terangkum melalui firman-Nya di dalam kitab suci.
Manusia adalah makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah. Dalam pengertian, manusia dapat mewarisi sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah. Ia dapat mengenal yang baik dan benar, ia juga dapat memiliki dan mewujudkan kasih dan kesetiaan itu secara nyata. Ia tahu tentang tugas dan tanggung jawabnya. Tahu tentang hak dan kewajibannya; baik kapada Allah maupun kepada pasangannya. Dan itulah yang menjadikannya bisa dikatakan sepadan. Berbeda dengan binatang-binatang hutan dan burung-burung di udara yang tidak bisa diajak bertukar pikiran, bahkan tidak tahu yang benar dan yang salah. Oleh karena itu, setiap orang harus senantiasa menjaga kesegambarannya dengan Allah agar kesepadanan itu tetap nyata. Sebab orang yang tidak menghargai pernikahannya, berarti ia tidak menghargai kesepadanan diri dengan pasangannya, utamanya lagi tidak menghargai kesegambarannya dengan Penciptanya.
                Suatu pernikahan, baru bisa dikatakan baik dan benar apabila dibangun di atas pondasi yang benar pula. Suatu rumah tangga hanya bisa mencapai tujuan yang sebenarnya apabila dibangun dan dikontrol sepenuhnya oleh Allah; yaitu Allah yang kita kenal di dalam Kristus Yesus. Dalam 1 korintus 3 : 11 dikatakan bahwa, “….tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain selain dari pada dasar yang telah diletakkan, Yaitu Yesus Kristus...” Itu berarti bahwa kasih kristuslah yang menjadi dasar dalam menjaga kesepadanan dalam kehidupan sebagai pasangan suami istri. Dan kasih dari kristus itu harus disemaikan, ditumbuhkan dalam setiap rumah tangga kristen agar senantiasa menghasilkan buah. Kasih Kristus menjadi dasar untuk  mempererat jalinan kasih sebagai suami-isteri, dalam menjaga kekudusan dan kesetiaan dalam rumah tangga. Sebab jika Yesus Kristus disingkirkan dari dalam rumah tangga maka pernikahan itu akan kehilangan arah dan maknanya.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Kristus Yesus,
Dengan memahami akan jatidiri kita sebagai makhluk sosial, sekaligus sebagai makhluk religius, maka dengan sendirinya kita dimungkinkan untuk memahami tentang hakekat atau arti dari pernikahan itu sendiri. Pemahaman itu juga yang semestinya mendorong setiap orang untuk dapat  mempertanggungjawabkan kehidupan rumah tangganya di hadapan Allah. Di satu sisi, manusia adalah mahluk sosial, yang otomatis membutuhkan hubungan kerjasama dengan sesamanya. Dan di sisi yang lain, manusia adalah makhluk religius, oleh karena itu hubungan dalam pernikahan itu tidak boleh dipahami dan ditempatkan sebagai hubungan sosial semata, melainkan sebuah hubungan yang bersifat religius, yaitu ikrar untuk sehidup-semati yang dinyatakan di hadapan Allah. Hubungan tersebut berbeda dengan kontrak sosial, yang bisa berakhir begitu saja di tengah jalan. Sebab firman-Nya menegaskan bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Pernikahan adalah hubungan lahir dan batin antara dua insan yang berbeda dan dipersatukan dalam ikatan yang serius untuk waktu yang panjang; yaitu seumur hidup. Baik dalam suka, maupun dalam duka. Baik dalam untung, maupun malang.
Pernikahan yang sempurna adalah kesatuan antara tiga pribadi; seorang pria, seorang perempuan, dan Allah. Itulah pilar atau penyanggah utama dalam menjaga keutuhan setiap pernikahan. Unsur itulah yang dapat membuat pernikahan menjadi kuat dan senantiasa langgeng dalam kesetiaan dan kekudusan. Hal itu jugalah yang dapat menjadi dasar bagi setiap pasangan sehingga senantiasa mampu menjadi ‘penolong yang sepadan’ dalam hubungan suami-istri. Iman kepada Allah, di dalam Kristus Yesus, merupakan prinsip terpenting dari semua prinsip-prinsip lainnya dalam rumah tangga kristen. Sebab kasih yang bersumber dari Yesus Kristus terbukti mampu mengarahkan kehidupan setiap orang dalam mengatasi segala tantangan dan cobaan hidup yang ada, demi pencapaian tujuan yang sesungguhnya dari pernikahan.
Berbahagialah setiap rumah tangga yang senantiasa bersandar kepada-Nya. Kiranya Roh-Nya yang kudus senantiasa menolong dan membimbing saudara sekalian.AMIN…!

No comments:

Post a Comment