MANUSIA SEBAGAI
MAKHLUK SOSIAL & MAKHLUK RELIGIUS
( Kejadian 2 : 18 - 23 )
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Kristus Yesus,
Salah satu pertanyaan mendasar dan
penting untuk kita renungkan bersama dalam ibadah pernikahan yang kita
selenggarakan pada saat ini adalah, apakah sebenarnya pernikahan itu dan
mengapa perlu ada pernikahan? Serta bagaimana seharusnya pernikahan itu
diselenggarakan atau dijalani? Untuk menjawab pertanyaan berikut maka sebagai
orang Kristen, sangat penting bagi kita untuk memahami hakekat diri kita selaku
manusia- menurut kesaksian Alkitab. Atau dengan kata lain; seperti apa
sebenarnya jatidiri kita sebagai manusia
ketika diciptakan?
Pertama, bahwa Tuhan menciptakan
manusia sebagai makhluk sosial
Maksudnya ialah, bahwa setiap orang,
mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus berinteraksi dengan sesamanya. Setiap
orang butuh kehadiran pihak lain dalam hidupnya. Kita hidup bukan oleh dan
untuk diri kita sendiri, melainkan oleh dan juga untuk orang lain. Sejak awal
penciptaan, di dalam kitab kejadian, sangat jelas disampaikan bahwa Tuhan sudah
mengingatkan pentingnya untuk mencermati akan hal ini. Alkitab memberi
kesaksian bahwa pada awalnya, di taman Eden hanya ada Adam seorang diri. Itu
berarti segala aktifitas hidupnya dilakukan seorang diri. Hidup sendiri,
bekerja sendiri, makan dan tidur sendiri, serta masih banyak hal yang dijalani
dalam kesendiriannya. Hari demi hari, segala aktifitasnya dijalani tanpa ada
yang menolongnya. Hidupnya terasa hampa, sepi, dan serasa ada yang kurang. Dan Allah sangat memahami tentang pergumulan Adam
tersebut.
Selanjutnya kita menyaksikan,“Tuhan
Allah berfirman; Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan
menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Lalu Allah menciptakan
segala binatang hutan dan segala burung-burung di udara lalu membawanya
semuanya itu kepada manusia untuk melihatnya…, tetapi baginya sendiri ia tidak
menjumpai ‘penolong yang sepadan’ dengan dia. Kemudian Allah mengambil salah
satu rusuk dari Adam dan dibangunnyalah seorang perempuan lalu dibawanya
kepadanya.
Manusia itu tidak baik kalau
sendirian. Mengapa? Karena sejatinya kita diciptakan sebagai makhluk sosial dan
bukan sebagai makhluk individu. Ia butuh penolong. Ia butuh teman dalam
berpikir dan dalam bekerja. Ia butuh teman berbagi dalam suka maupun duka.
Itulah sebabnya Tuhan mengatakan bahwa ‘sendirian itu tidak baik’. “Bukan
salah, bukan tidak boleh, tetapi tidak baik!” Oleh karena itu manusia
semestinya senantiasa berusaha dan harus mampu untuk menjalin hubungan atau
ikatan kerjasama dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya, khususnya dalam
mewujudkan impian-impiannya. Kodrat itulah yang mendorong manusia untuk selalu
berusaha mencari pihak yang dianggapnya dapat menolongnya. Dalam interaksi
sosial tersebut, manusia melakukan proses seleksi untuk mencari partnernya,
karena tidak semua orang bisa diajak bekerjasama. Apalagi kalau hubungan itu
diorientasikan pada hubungan dalam pernikahan.
Ada tahapan atau proses identifikasi; mencari orang yang dianggapnya
memiliki komitmen dan pandangan yang sama dengan dirinya, serta memahami apa
yang dicita-citakannya, dan bisa diajak bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama secara benar dan bertanggungjawab.
Setiap orang membutuhkan teman atau
pasangan hidup dalam menjalani hari-harinya. Itulah latar belakang yang menjadi
dasar pertimbangan, mengapa mesti ada pernikahan- karena manusia memang
membutuhkan penolong bagi dirinya.
Kedua, Bahwa Tuhan menciptakan
manusia sebagai mahluk religius
Bahwa setiap makhluk adalah ciptaan
Allah. Allah-lah yang telah menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan. Allah
jugalah yang berinisiatif dalam merencanakan dan memanggilnya untuk bersatu
dalam ikatan pernikahan. Oleh karena itu, pernikahan harus dijalani seturut
dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Segala sesuatu yang dialami dan
dilakukan hendaknya senantiasa menjadi bentuk ketaatan dan pengabdian kepada
Sang Pencipta. Atau dengan kata lain, harus senantiasa menjadi sarana untuk
memuliakan Allah. Setiap orang dalam
hidupnya telah diberikan kemungkinan oleh
Allah untuk dapat mengetahui dan merespon kehendak-Nya. Manusia telah
diperlengkapi dengan Akal budi yang baik. Sehingga apapun yang direncanakan
dan dilakukannya diharapkan senantiasa sesuai dengan rencana dan kehendak
Allah; termasuk dalam menjalani sebuah pernikahan. Manusia adalah mahluk yang
ber-Tuhan. Manusia adalah mahluk religius atau beragama, dalam pengertian; ia
butuh keteraturan, dan Allah adalah satu-satunya sumber keteraturan yang
sempurna. Dan Allah pun telah memperlengkapinya dengan tata tertib untuk dapat
hidup dalam kekudusan dan kesetiaan sebagaimana Allah sendiri kudus dan setia
adanya. Petunjuk itu sudah terangkum melalui firman-Nya di dalam kitab suci.
Manusia adalah makhluk yang
diciptakan segambar dengan Allah. Dalam pengertian, manusia dapat mewarisi
sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah. Ia dapat mengenal yang baik dan benar, ia
juga dapat memiliki dan mewujudkan kasih dan kesetiaan itu secara nyata. Ia
tahu tentang tugas dan tanggung jawabnya. Tahu tentang hak dan kewajibannya;
baik kapada Allah maupun kepada pasangannya. Dan itulah yang menjadikannya bisa
dikatakan sepadan. Berbeda dengan binatang-binatang hutan dan burung-burung di
udara yang tidak bisa diajak bertukar pikiran, bahkan tidak tahu yang benar dan
yang salah. Oleh karena itu, setiap orang harus senantiasa menjaga
kesegambarannya dengan Allah agar kesepadanan itu tetap nyata. Sebab orang yang
tidak menghargai pernikahannya, berarti ia tidak menghargai kesepadanan diri
dengan pasangannya, utamanya lagi tidak menghargai kesegambarannya dengan
Penciptanya.
Suatu pernikahan, baru bisa
dikatakan baik dan benar apabila dibangun di atas pondasi yang benar pula.
Suatu rumah tangga hanya bisa mencapai tujuan yang sebenarnya apabila dibangun
dan dikontrol sepenuhnya oleh Allah; yaitu Allah yang kita kenal di dalam
Kristus Yesus. Dalam 1 korintus 3 : 11 dikatakan bahwa, “….tidak ada seorangpun
yang dapat meletakkan dasar lain selain dari pada dasar yang telah diletakkan,
Yaitu Yesus Kristus...” Itu berarti bahwa kasih kristuslah yang menjadi dasar
dalam menjaga kesepadanan dalam kehidupan sebagai pasangan suami istri. Dan
kasih dari kristus itu harus disemaikan, ditumbuhkan dalam setiap rumah tangga
kristen agar senantiasa menghasilkan buah. Kasih Kristus menjadi dasar untuk mempererat jalinan kasih sebagai
suami-isteri, dalam menjaga kekudusan dan kesetiaan dalam rumah tangga. Sebab
jika Yesus Kristus disingkirkan dari dalam rumah tangga maka pernikahan itu
akan kehilangan arah dan maknanya.
Saudara-saudara yang
dikasihi di dalam Kristus Yesus,
Dengan memahami akan jatidiri kita
sebagai makhluk sosial, sekaligus sebagai makhluk religius, maka dengan
sendirinya kita dimungkinkan untuk memahami tentang hakekat atau arti dari
pernikahan itu sendiri. Pemahaman itu juga yang semestinya mendorong setiap
orang untuk dapat mempertanggungjawabkan
kehidupan rumah tangganya di hadapan Allah. Di satu sisi, manusia adalah mahluk
sosial, yang otomatis membutuhkan hubungan kerjasama dengan sesamanya. Dan di
sisi yang lain, manusia adalah makhluk religius, oleh karena itu hubungan dalam
pernikahan itu tidak boleh dipahami dan ditempatkan sebagai hubungan sosial
semata, melainkan sebuah hubungan yang bersifat religius, yaitu ikrar untuk
sehidup-semati yang dinyatakan di hadapan Allah. Hubungan tersebut berbeda
dengan kontrak sosial, yang bisa berakhir begitu saja di tengah jalan. Sebab
firman-Nya menegaskan bahwa apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh
diceraikan oleh manusia. Pernikahan adalah hubungan lahir dan batin antara dua
insan yang berbeda dan dipersatukan dalam ikatan yang serius untuk waktu yang
panjang; yaitu seumur hidup. Baik dalam suka, maupun dalam duka. Baik dalam
untung, maupun malang.
Pernikahan yang sempurna adalah
kesatuan antara tiga pribadi; seorang pria, seorang perempuan, dan Allah.
Itulah pilar atau penyanggah utama dalam menjaga keutuhan setiap pernikahan.
Unsur itulah yang dapat membuat pernikahan menjadi kuat dan senantiasa langgeng
dalam kesetiaan dan kekudusan. Hal itu jugalah yang dapat menjadi dasar bagi
setiap pasangan sehingga senantiasa mampu menjadi ‘penolong yang sepadan’ dalam
hubungan suami-istri. Iman kepada Allah, di dalam Kristus Yesus, merupakan
prinsip terpenting dari semua prinsip-prinsip lainnya dalam rumah tangga
kristen. Sebab kasih yang bersumber dari Yesus Kristus terbukti mampu
mengarahkan kehidupan setiap orang dalam mengatasi segala tantangan dan cobaan
hidup yang ada, demi pencapaian tujuan yang sesungguhnya dari pernikahan.
Berbahagialah
setiap rumah tangga yang senantiasa bersandar kepada-Nya. Kiranya Roh-Nya yang
kudus senantiasa menolong dan membimbing saudara sekalian.AMIN…!
No comments:
Post a Comment