Thursday, June 4, 2015

“SIAPAKAH YANG DAPAT MEMISAHKAN KITA?”



“SIAPAKAH YANG DAPAT MEMISAHKAN KITA?”
( Roma 8 : 31 – 39 )


Menjalin kebersamaan dengan sesama adalah sebuah situasi nyata yang selalu diharapkan setiap orang kiranya tetap terjadi dalam hidupnya. Hal tersebut merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia secara umum dan merupakan realita yang susah untuk terbantahkan. Memang, tidak dapat disangkali, jika ada saat-saat dimana seseorang terkadang butuh suasana dimana dia bisa sendirian, tanpa ada yang mengganggunya. Namun secara normal, tentunya tidak ada seorangpun yang berharap agar dirinya selamanya berada dalam kesendirian. Itulah wujud dari hakekat dan keberadaan kita (manusia) sebagai mahluk sosial. Setiap orang tidak dapat menjalani hidup secara normal dalam keutuhannya sebagai manusia, kalau ia memisahkan diri, atau mengasingkan diri dari perjumpaan dengan sesamanya. Setiap orang harus bisa membangun relasi dengan sesamanya, agar bisa saling menopang dalam berbagai keperluan dan situasi hidup. Relasi itulah yang apabila terjalin dengan baik, mampu menciptakan hubungan batin (cinta-kasih) seorang dengan yang lain bisa semakin erat. Sehingga tidak jarang, ketika ada gejala yang diperkirakan akan mengusik kebersamaan tersebut, maka secara spontan kita langsung bereaksi terhadapnya. Kita sadar bahwa kita tidak sanggup menghadapi kenyataan kalau harus berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi.
Namun dalam kenyataan hidup di dunia ini, selalu saja ada banyak kemungkinan yang dapat menyebabkan kita berpisah dengan sesama, atau dengan orang yang kita kasihi. Bisa terjadi karena faktor tempat tinggal yang jaraknya memang harus berjauhan. Bisa juga karena suatu peristiwa tertentu; seperti yang sering kita dengar dan saksikan melalui pemberitaan di media massa. Dan ada begitu banyak orang yang terpaksa harus berpisah dengan anggota keluarganya,  dengan teman-temannya karena faktor tuntutan ekonomi. Atau ada perpisahan yang terjadi, diakibatkan oleh kasus penculikan dan sejenisnya. Bahkan secara umum, sebuah perpisahan yang tak dapat dielakkan dan harus terjadi atas orang-orang yang kita cintai adalah karena peristiwa kematian, seperti yang sedang kita alami dan rasakan pasa saat ini.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,  
                Mengalami kenyataan hidup yang demikian. Menghadapi perpisahan karena kematian atas orang yang kita kasihi, yang tentunya sungguh menyakitkan dan juga kita tidak harapakan, apakah yang bisa kita katakan tentang semuanya itu? Atau apakah yang semestinya kita perbuat? Ataukah cukup dengan menangis saja, sambil meratapi kemalangan hidup yang menimpa? Lalu mengatakan bahwa itu semua memang sudah takdir?
                Melalui bagian Alkitab yang kita baca pada saat ini, khususnya dari Roma 8 : 31 - 39, Rasul Paulus menjelaskan sebuah sisi penting yang perlu diperhatikan dalam menghadapi tekanan batin, bahkan mungkin juga penderitaan secara jasmani sebagai dampak yang ditimbulkan oleh karena perpisahan.
Memang tidak dapat kita sangkali, bahwa sebagai manusia, keberadaan kita rapuh adanya. Bahkan tidak ada sesuatupun yang bisa bertahan lama pada diri kita, karena sebagai ciptaan, semuanya sementara adanya. Tidak ada yang kekal, temasuk hubungan kasih yang kita jalin. Sekalipun demikian, dalam menghadapi segala kenyataan tentang kerapuhan diri kita, ternyata masih ada sesuatu yang abadi dan bisa menjadi harapan bagi kita. Bahkan lebih jauh lagi,bisa menjadi milik kita selamanya. Hal itulah yang disampaikan oleh Rasul Paulus dalam pembacaan kita pada saat ini. Dia mengatakan bahwa, “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya atau pedang…, dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu mahluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”  
Menurutnya, setiap orang percaya harus merespon kenyataan tersebut dengan sebuah keyakinan. Yaitu keyakinan iman yang sungguh kepada kasih Kristus yang sifatnya sempurna dan kekal, sehingga dapat memungkinkan dirinya untuk bisa bertahan dalam menghadapi berbagai macam tekanan hidup, apapun bentuknya; termasuk kematian. Walaupun kita menderita dan mengalami kesesakan, bahkan sekalipun keadaan yang kita alami dalam menghadapi tekanan hidup sungguh berat. Walaupun keadaan kita dapat diibaratkan seperti domba-domba sembelihan sekalipun, namun bila kita berada dalam rangkulan kasih Kristus, maka kitalah yang akan disebut ‘lebih daripada orang-orang yang menang.
Bagi Paulus, perpisahan yang sedang terjadi dan dialaminya di atas dunia ini hanyalah perpisahan sementara dan bersifat lahiriah. Namun secara rohani, ia mengamini bahwa dirinya  tetap bersama dengan Kristus, bahkan dengan orang-orang percaya lainnya kepada kuasa dan kasih Kristus. Ia mampu menggambarkan dalam dirinya suasana sorgawi yang menjadi tujuan pengharapannya. Sehingga dengan sangat lantang ia menyerukan kepada orang yang percaya bahwa, “siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus?” Paulus yakin bahwa tidak akan ada kekuatan atau kuasa, serta situasi apapun yang dapat memisahkannya, bahkan maut sekalipun.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Dalam kaitannya dengan dukacita yang kita alami dan rasakan pada saat ini, mampukah kita belajar dan bisa bersikap seperti Rasul Paulus? Mampukah kita berbicara seperi dia bahwa apapun situasi yang kita hadapi, tidak akan ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus, termasuk kematian?
                Jika kita katakan, “Ya! atau, “Amin!” Maka kitalah yang disebut sebagai orang-orang yang lebih dari pemenang. Sebab sekalipun kita sudah berpisah secara lahiriah dengan orang yang kita kasihi (almarhum), namun kita yakini bahwa di dalam rangkulan  kasih Kristus kita tetap bersama-sama dengannya, dan tidak terpisahkan. Kasih Kristus itu sempurna dan kekal. Kasih-Nya setiap saat bisa kita rasakan karena Dia tidak pernah jauh dari kita. Bukti dari kasih-Nya dengan sempurnah Dia telah nyatakan melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Dan pengorbanan atas kasih-Nya bukanlah sesuatu yang sia-sia karena Diapun telah bangkit. Semua itu Dia lakukan agar kuasa maut (kematian) tunduk kepada-Nya dan tidak memisahkan diri-Nya dengan umat-Nya. Jika kita percaya bahwa Yesus telah mati dan bangkit, maka kita juga percaya bahwa  mereka yang telah meninggal di dalam iman kepada Yesus, akan dikumpulkan bersama-sama dengan Dia ( band. 1 Tes. 4 : 14 ) ; jadi akan terjadi pertemuan kembali penuh kemuliaan kelak, antara kita dengan mereka semua yang kita kasihi ( yang telah mendahului kita).
            Oleh karena itu, menghadapi dukacita karena kematian orang yang kita kasihi, mengatasi penderitaan atas perpisahan yang terjadi, maka pandanglah kematian dan kebangkitan Kristus dengan mata iman, maka Diapun akan memberi kekuatan, penghiburan dan pemulihan. Kita boleh saja menangis. Kita boleh saja berduka. Tubuh kita boleh saja menjadi lesuh karenanya. Namun jangan biarkan iman kita ikut terbelenggu oleh tekanan lalu menjadi lesu dan tak berdaya. Tetapi biarlah dengan kekuatan iman yang tulus, kita berusaha merespon kenyataan ini dan tetap berjuang untuk semakin dekat kepada Tuhan. Sebab hanya di dalam kasih-Nya saja kita bisa menghalau segala duka dan kekuatiran hidup.
Biarlah Roh Allah yang hidup selalu bersama dengan kita semua, sehingga kita bisa kuat untuk menjadi pemenang di dalam segala tantangan hidup. Bahkan tidak sekedar jadi pemenang, namun lebih dari pemenang. Haleluyah!
 Amin…!

No comments:

Post a Comment