“SIAPAKAH YANG DAPAT MEMISAHKAN
KITA?”
( Roma 8 : 31 – 39 )
Menjalin
kebersamaan dengan sesama adalah sebuah situasi nyata yang selalu diharapkan
setiap orang kiranya tetap terjadi dalam hidupnya. Hal tersebut merupakan salah
satu kebutuhan mendasar bagi manusia secara umum dan merupakan realita yang
susah untuk terbantahkan. Memang, tidak dapat disangkali, jika ada saat-saat
dimana seseorang terkadang butuh suasana dimana dia bisa sendirian, tanpa ada yang
mengganggunya. Namun secara normal, tentunya tidak ada seorangpun yang berharap
agar dirinya selamanya berada dalam kesendirian. Itulah wujud dari hakekat dan
keberadaan kita (manusia) sebagai mahluk sosial. Setiap orang tidak dapat
menjalani hidup secara normal dalam keutuhannya sebagai manusia, kalau ia
memisahkan diri, atau mengasingkan diri dari perjumpaan dengan sesamanya.
Setiap orang harus bisa membangun relasi dengan sesamanya, agar bisa saling
menopang dalam berbagai keperluan dan situasi hidup. Relasi itulah yang apabila
terjalin dengan baik, mampu menciptakan hubungan batin (cinta-kasih) seorang
dengan yang lain bisa semakin erat. Sehingga tidak jarang, ketika ada gejala
yang diperkirakan akan mengusik kebersamaan tersebut, maka secara spontan kita
langsung bereaksi terhadapnya. Kita sadar bahwa kita tidak sanggup menghadapi
kenyataan kalau harus berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi.
Namun
dalam kenyataan hidup di dunia ini, selalu saja ada banyak kemungkinan yang
dapat menyebabkan kita berpisah dengan sesama, atau dengan orang yang kita
kasihi. Bisa terjadi karena faktor tempat tinggal yang jaraknya memang harus
berjauhan. Bisa juga karena suatu peristiwa tertentu; seperti yang sering kita
dengar dan saksikan melalui pemberitaan di media massa. Dan ada begitu banyak
orang yang terpaksa harus berpisah dengan anggota keluarganya, dengan teman-temannya karena faktor tuntutan
ekonomi. Atau ada perpisahan yang terjadi, diakibatkan oleh kasus penculikan
dan sejenisnya. Bahkan secara umum, sebuah perpisahan yang tak dapat dielakkan
dan harus terjadi atas orang-orang yang kita cintai adalah karena peristiwa
kematian, seperti yang sedang kita alami dan rasakan pasa saat ini.
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Mengalami
kenyataan hidup yang demikian. Menghadapi perpisahan karena kematian atas orang
yang kita kasihi, yang tentunya sungguh menyakitkan dan juga kita tidak
harapakan, apakah yang bisa kita katakan tentang semuanya itu? Atau apakah yang
semestinya kita perbuat? Ataukah cukup dengan menangis saja, sambil meratapi
kemalangan hidup yang menimpa? Lalu mengatakan bahwa itu semua memang sudah
takdir?
Melalui bagian Alkitab
yang kita baca pada saat ini, khususnya dari Roma 8 : 31 - 39, Rasul Paulus
menjelaskan sebuah sisi penting yang perlu diperhatikan dalam menghadapi
tekanan batin, bahkan mungkin juga penderitaan secara jasmani sebagai dampak
yang ditimbulkan oleh karena perpisahan.
Memang
tidak dapat kita sangkali, bahwa sebagai manusia, keberadaan kita rapuh adanya.
Bahkan tidak ada sesuatupun yang bisa bertahan lama pada diri kita, karena
sebagai ciptaan, semuanya sementara adanya. Tidak ada yang kekal, temasuk
hubungan kasih yang kita jalin. Sekalipun demikian, dalam menghadapi segala
kenyataan tentang kerapuhan diri kita, ternyata masih ada sesuatu yang abadi
dan bisa menjadi harapan bagi kita. Bahkan lebih jauh lagi,bisa menjadi milik
kita selamanya. Hal itulah yang disampaikan oleh Rasul Paulus dalam pembacaan
kita pada saat ini. Dia mengatakan bahwa, “Siapakah
yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau
penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya atau pedang…,
dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang oleh Dia yang
telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik
malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang maupun
yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah,
ataupun sesuatu mahluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah,
yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”
Menurutnya,
setiap orang percaya harus merespon kenyataan tersebut dengan sebuah keyakinan.
Yaitu keyakinan iman yang sungguh kepada kasih Kristus yang sifatnya sempurna
dan kekal, sehingga dapat memungkinkan dirinya untuk bisa bertahan dalam
menghadapi berbagai macam tekanan hidup, apapun bentuknya; termasuk kematian.
Walaupun kita menderita dan mengalami kesesakan, bahkan sekalipun keadaan yang
kita alami dalam menghadapi tekanan hidup sungguh berat. Walaupun keadaan kita
dapat diibaratkan seperti domba-domba sembelihan sekalipun, namun bila kita
berada dalam rangkulan kasih Kristus, maka kitalah yang akan disebut ‘lebih daripada
orang-orang yang menang.
Bagi
Paulus, perpisahan yang sedang terjadi dan dialaminya di atas dunia ini
hanyalah perpisahan sementara dan bersifat lahiriah. Namun secara rohani, ia
mengamini bahwa dirinya tetap bersama
dengan Kristus, bahkan dengan orang-orang percaya lainnya kepada kuasa dan
kasih Kristus. Ia mampu menggambarkan dalam dirinya suasana sorgawi yang
menjadi tujuan pengharapannya. Sehingga dengan sangat lantang ia menyerukan
kepada orang yang percaya bahwa, “siapakah yang dapat memisahkan kita dari
kasih Kristus?” Paulus yakin bahwa tidak akan ada kekuatan atau kuasa, serta
situasi apapun yang dapat memisahkannya, bahkan maut sekalipun.
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Dalam
kaitannya dengan dukacita yang kita alami dan rasakan pada saat ini, mampukah
kita belajar dan bisa bersikap seperti Rasul Paulus? Mampukah kita berbicara
seperi dia bahwa apapun situasi yang kita hadapi, tidak akan ada yang dapat
memisahkan kita dari kasih Kristus, termasuk kematian?
Jika kita katakan, “Ya!
atau, “Amin!” Maka kitalah yang disebut sebagai orang-orang yang lebih dari
pemenang. Sebab sekalipun kita sudah berpisah secara lahiriah dengan orang yang
kita kasihi (almarhum), namun kita yakini bahwa di dalam rangkulan kasih Kristus kita tetap bersama-sama
dengannya, dan tidak terpisahkan. Kasih Kristus itu sempurna dan kekal.
Kasih-Nya setiap saat bisa kita rasakan karena Dia tidak pernah jauh dari kita.
Bukti dari kasih-Nya dengan sempurnah Dia telah nyatakan melalui
pengorbanan-Nya di kayu salib. Dan pengorbanan atas kasih-Nya bukanlah sesuatu
yang sia-sia karena Diapun telah bangkit. Semua itu Dia lakukan agar kuasa maut
(kematian) tunduk kepada-Nya dan tidak memisahkan diri-Nya dengan umat-Nya.
Jika kita percaya bahwa Yesus telah mati dan bangkit, maka kita juga percaya
bahwa mereka yang telah meninggal di dalam
iman kepada Yesus, akan dikumpulkan bersama-sama dengan Dia ( band. 1 Tes. 4 :
14 ) ; jadi akan terjadi pertemuan kembali penuh kemuliaan kelak, antara kita
dengan mereka semua yang kita kasihi ( yang telah mendahului kita).
Oleh karena itu, menghadapi dukacita
karena kematian orang yang kita kasihi, mengatasi penderitaan atas perpisahan
yang terjadi, maka pandanglah kematian dan kebangkitan Kristus dengan mata iman,
maka Diapun akan memberi kekuatan, penghiburan dan pemulihan. Kita boleh saja
menangis. Kita boleh saja berduka. Tubuh kita boleh saja menjadi lesuh
karenanya. Namun jangan biarkan iman kita ikut terbelenggu oleh tekanan lalu
menjadi lesu dan tak berdaya. Tetapi biarlah dengan kekuatan iman yang tulus,
kita berusaha merespon kenyataan ini dan tetap berjuang untuk semakin dekat
kepada Tuhan. Sebab hanya di dalam kasih-Nya saja kita bisa menghalau segala
duka dan kekuatiran hidup.
Biarlah
Roh Allah yang hidup selalu bersama dengan kita semua, sehingga kita bisa kuat
untuk menjadi pemenang di dalam segala tantangan hidup. Bahkan tidak sekedar
jadi pemenang, namun lebih dari pemenang. Haleluyah!
Amin…!
No comments:
Post a Comment