PERGUMULAN DAN PENGHARAPAN
(Mazmur 73 : 1 – 28 )
Saudara-saudara yang dikasihi-di
dalam Yesus Kristus,
Ada sebuah teori yang
mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita.Atau mungkin juga sudah sangat
akrab, dan tidak terhitung lagi, entah sudah berapa kali telah terlontar dari
mulut kita. Hal mana sering diyakini sebagai sesuatu yang sudah berlaku secara
umum dan otomatis menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia, tanpa ada yang
terkecuali. Teori tersebut sering diistilahkan sebagai ‘hukum sebab- akibat’.
Artinya, apapun kenyataan-kenyataan yang terjadi dan dialami oleh setiap orang atau sekelompok
orang di dalam kehidupannya, maka secara
otomatis pasti ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Atau dengan kata lain,
tidak ada sebuah kenyataan yang terjadi (sebagai akibat) tanpa dilatar
belakangi oleh suatu penyebab tertentu. Sehingga hanya dengan melihat
keadaannya saja, kita sudah bisa memastikan tentang faktor yang menjadi
penyebabnya.
Teori
tesebut memang ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar. Sebab yang menjadi
persoalan adalah, seringkali terjadi penentuan indikator (ukuran penilaian)
yang salah terhadap suatu keadaan sehingga kesimpulannya pun otomatis menjadi
salah. Dalam hal ini, sangat potensial terbangun suatu penilaian (klaim) secara
permanen dalam pemikiran kita, ‘bahwa
jika keadaannya seperti ini, maka otomatis penyebabnya seperti itu.’ Sebagai contoh: jika ada orang yang
terkena suatu penyakit atau musibah tertentu, maka seringkali secara spontas
orang memberi klaim bahwa itu adalah akibat karena dosa-dosanya. Atau sebagai
contoh lain: jika ada seseorang yang kelihatan belum beruntung, dan mengalami keadaan yang kurang baik dari sudut
ekonomi dalam hidupnya, maka secara spontan pula sering dihubungkan dengan
status keimanannya, dengan memberi klaim bahwa itu semua adalah bukti dari
kesia-siaan atas apa yang diimaninya. Dalam
hal ini, sangat potensial terjadi penilaian yang keliru sebagai vonis atas
kejadian/keadaan tertentu, tanpa didahului dengan penelitian atau
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lainnya terlebih dahulu.
Teori ‘hukum
sebab-akibat’ ini sangat potensial memberi dampak secara negatif bagi kehidupan
orang kristen kalau tidak dipahami dan ditelaah dengan benar. Dan dampaknya
bisa sangat berakibat fatal.Termasuk pengaruh buruknya bagi pertumbuhan iman
seseorang. Oleh karena itu,untuk bisa menilai tentang benar-tidaknya vonis
hubungan sebab akibat dalam setiap kenyataan yang kita hadapi selaku orang
kristen, maka harus tetap didekati dengan
menggunakan kaca mata iman. Dalam hal ini, dengan menggunakan firman
Tuhan sebagai satu-satunya ukuran mutlak dan bukan hasil rekaan pikiran dan
perasaan manusia semata.
Pembacaan kita pada saat ini
mengisahkan tentang sebuah pengalaman nyata seorang hamba Tuhan sekaitan dengan
persoalan vonis hukum sebab-akibat. Seorang pemazmur Israel, dalam hal ini
Asaf, menceritakan ulang sebuah
pergumulan batinnya atas kenyataan hidup yang pernah dialaminya. Ia pernah
mengalami gangguan pikiran. Bahkan hampir kehilangan pengharapan. Imannya
sempat terusik oleh situasi keseharian yang dihadapinya. Secara kasat mata, ia
menyaksikan dalam realitas kehidupannya bahwa ternyata ada begitu banyak orang yang hidupnya sebenarnya tidak dekat kepada
Allah, tetapi mereka justru mengalami
keadaan yang lebih baik dari sudut ekonomi, kesehatan dan lain-lain,
dibandingkan dirinya dan sesamanya yang lebih dekat kepada Allah.
Ia
dihinggapi rasa cemburu karena ia mulai membanding-bandingkan keadaan dirinya
dengan orang-orang fasik. Ia mempertanyakan keadaan orang-orang fasik; yang
kelihatan justru selalu mengalami kemujuran. Antara lain; penyakit sama sekali tidak menyentuhnya,
melainkan selalu dalam keadaan sehat. Juga kelihatan tidak mengalami kesusahan
dan tidak kena tulah sebagai hukuman. Bahkan lebih menyakitkan lagi, ia melihat
dan mendengar, dengan begitu congkaknya, orang-orang fasik semakin berani
membual. Dan dengan bangganya berusaha meyakinkan orang-orang percaya untuk
mengikuti mereka dan berbalik meninggalkan imannya. Orang-orang fasik malah
mulai mengolok-olok keberadaan Allah Yang Mahatinggi (yang disembah oleh
orang-orang percaya) sebagai Allah yang tidak tahu apa-apa (ay.3 – 12 ).
Selanjutnya,
pemazur melihat dirinya sendiri, yang boleh dikategorikan sebagai orang yang
taat kepada Allah, namun justru seolah
tidak dipedulikan oleh Allah. Ia percaya bahwa Allah itu baik bagi mereka yang
tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya (ay. 1). Tetapi atas ketulusan
hati yang dinyatakannya, ia seakan tidak melihat adanya kebaikan yang dilakukan
Allah bagi dirinya. Malah sebaliknya,ia merasa hari-harinya sering diwarnai
oleh kehadiran tulah dan hukuman. Akibatnya, ia hampir merasa sia-sia
mempertahankan iman dan ketulusan hatinya di hadapan Tuhan (ay. 13-14). Ia mulai berpikir, “Ah, apa perlunya aku
memelihara kemurnian hatiku? Rupanya percuma saja semua itu, bila nyatanya
mereka berhasil padahal aku tidak!”
Namun
di tengah-tengah pergumulan dan kebingungannya, sebelum ia terpeleset, ia segera
menghampiri hadirat Allah. Di hadapan Allahlah, ia belajar untuk memahami bahwa
apa yang nampak dari luar- seringkali menipu. Sebab Allah menyediakan yang
terbaik bagi mereka yang setia kepada-Nya. Allah selalu berada di pihak
umat-Nya, dan merupakan kekuatan di masa kini dan bagian kemuliaan di masa
depan. Tetapi si fasik dengan segala kebanggaan atas kemakmurannya (yang seolah
sudah menikmati keaadaannya sekarang ini), justru akan binasa kelak karena
ketidak setiaannya. Pemazmur lalu tersentak dan kembali tersadar. Kemudian ia
berusaha bisa bersikap lebih arif dan bijaksana. Sebelum imannya sungguh-sungguh
goyah lalu jatuh tergelincir, ia masih
bisa berpikir dengan benar, lalu mengambil keputusan untuk tetap berharap hanya
kepada Allah.
Ia
mampu bersikap optimis akan terjadinya situasi yang lebih baik bagi dirinya di
kemudian hari. Sehingga iapun berkomitmen untuk tetap dekat dan bergantung
kepada Allah saja, untuk selamanya, apapun situasi yang dialaminya. Ia sadar
bahwa pergumulan yang dihadapinya sekarang ini hanyalah sementara. Ia yakin dan
sepenuhnya bahwa suatu kelak, keadaanya yang penuh pergumulan akan berganti
dengan sukacita surgawi penuh pengharapan. Sedangkan kesenangan dan keangkuhan
orang-orang fasik diyakini hanya sementara saja, dan akan tergantikan oleh
kebinasaan.
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Kristus Yesus,
Menghadapi
situasi hidup kita sehari-hari, menjalani prinsip keimanan kita di balik semua
kenyataan hidup yang kita alami, jangan sampai kita terjebak ke dalam klaim
tentang ‘hukum sebab-akibat’ yang sebenarnya tidak benar, dan hanya merupakan
hasil rekaan pikiran dan perasaan manusia semata. Atau karena tipuan
penglihatan mata kita. Sebab penderitaan atas suatu penyakit, kesusahan karena
kemiskinan secara ekonomi dan sejenisnya, bukanlah sebuah ukuran untuk
memberikan klaim bahwa itu adalah akibat karena kurang percaya kepada Allah.
Atau sebagai akibat karena mengimani Allah yang salah. Begitupun sebaliknya;
kekayaan secara materil, kekuatan secara jasmani bukanlah menjadi sebuah ukuran
mutlak untuk menjatuhkan vonis (penilaian) bahwa itu semua adalah bukti dari
keberadaan hidup orang yang percaya. Atau sebagai bukti bahwa kita diberkati.
Keberhasilan tidak selamanya menjadi tanda berkat Allah. Sebab bisa saja
kekayaan justru menjadi kutuk karena
didapat dengan cara yang salah, bahkan tidak jarang dengan mengorbankan
orang lain. Disamping itu, kitapun tidak bisa menutup mata kalau banyak juga
orang kristen yang berhasil di berbagai bidang, lalu kaya, dan semuanya itu
didapatkan atas jerih lelah dengan imannya.
Oleh
karena itu, janganlah kita membenamkan diri dalam rasa iri hati kalau orang
lain berhasil, walau orang fasik sekalipun. Memang, tidak dapat disangkali
bahwa sebagian besar orang kristen di dunia ini ( terutama di Negara yang
sedang berkembang) justru hidup dalam kemiskinan. Tetapi kita berharap kepada
janji Allah bahwa Dia memilih yang miskin dari dunia ini untuk menjadi kaya
dalam iman (band. Yak. 2 : 5 )
Memaknai
hidup dalam iman bagi kemuliaan Allah merupakan sebuah keharusan bagi kita
selaku orang percaya. Oleh karena itu, penyerahan diri secara tulus, total dan tanpa
syarat adalah merupakan sebuah hal yang mesti kita miliki. Artinya, tidak boleh
ada penyerahan diri secara setengah-setengah. Atau dengan memberi syarat, bahwa
kita hanya mau percaya kepada Allah saat mengalami keadaan baik-baik saja, lalu
meninggalkan Allah serta mempersalahkan Allah kala keadaan kurang baik datang
menghampiri. Tetapi hendaklah kita berharap kepada-Nya selalu dan dekat hadirat-Nya
dalam situasi apapun, sekalipun pergumulan hidup silih berganti menerpa.
Janganlah
ragu tentang kasih Allah! Bukankah kasih Allah yang terbesar dan sempurna telah
dinyatakan melalui anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus? Di dalam Dialah
kita bisa memiliki janji dan pengharapan yang jauh lebih baik dan sempurna
dibanding harapan-harapan yang sering dibanggakan orang fasik. Sebab orang yang memiliki pengharapan di
dalam Kristus selalu melihat adanya kesempatan yang baik dalam setiap
kesulitan, dan bukan melihat kesulitan di setiap kesempatan.
Biarlah
oleh Roh Allah yang kudus senantiasa memberi kita pengharapan dalam menghadapi
pergumulan. Haleluyah!
Amin…!
No comments:
Post a Comment