Sunday, June 21, 2015

PERGUMULAN DAN PENGHARAPAN (Mazmur 73 : 1 – 28 )



PERGUMULAN DAN PENGHARAPAN
(Mazmur 73 : 1 – 28 )
Saudara-saudara yang dikasihi-di dalam Yesus Kristus,
                Ada sebuah teori yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita.Atau mungkin juga sudah sangat akrab, dan tidak terhitung lagi, entah sudah berapa kali telah terlontar dari mulut kita. Hal mana sering diyakini sebagai sesuatu yang sudah berlaku secara umum dan otomatis menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia, tanpa ada yang terkecuali. Teori tersebut sering diistilahkan sebagai ‘hukum sebab- akibat’. Artinya, apapun kenyataan-kenyataan yang terjadi dan  dialami oleh setiap orang atau sekelompok orang di dalam  kehidupannya, maka secara otomatis pasti ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Atau dengan kata lain, tidak ada sebuah kenyataan yang terjadi (sebagai akibat) tanpa dilatar belakangi oleh suatu penyebab tertentu. Sehingga hanya dengan melihat keadaannya saja, kita sudah bisa memastikan tentang faktor yang menjadi penyebabnya.
Teori tesebut memang ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar. Sebab yang menjadi persoalan adalah, seringkali terjadi penentuan indikator (ukuran penilaian) yang salah terhadap suatu keadaan sehingga kesimpulannya pun otomatis menjadi salah. Dalam hal ini, sangat potensial terbangun suatu penilaian (klaim) secara permanen dalam pemikiran kita, ‘bahwa jika keadaannya seperti ini, maka otomatis penyebabnya seperti itu.’  Sebagai contoh: jika ada orang yang terkena suatu penyakit atau musibah tertentu, maka seringkali secara spontas orang memberi klaim bahwa itu adalah akibat karena dosa-dosanya. Atau sebagai contoh lain: jika ada seseorang yang kelihatan belum beruntung, dan  mengalami keadaan yang kurang baik dari sudut ekonomi dalam hidupnya, maka secara spontan pula sering dihubungkan dengan status keimanannya, dengan memberi klaim bahwa itu semua adalah bukti dari kesia-siaan atas apa yang diimaninya. Dalam hal ini, sangat potensial terjadi penilaian yang keliru sebagai vonis atas kejadian/keadaan tertentu, tanpa didahului dengan penelitian atau mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lainnya terlebih dahulu.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Teori ‘hukum sebab-akibat’ ini sangat potensial memberi dampak secara negatif bagi kehidupan orang kristen kalau tidak dipahami dan ditelaah dengan benar. Dan dampaknya bisa sangat berakibat fatal.Termasuk pengaruh buruknya bagi pertumbuhan iman seseorang. Oleh karena itu,untuk bisa menilai tentang benar-tidaknya vonis hubungan sebab akibat dalam setiap kenyataan yang kita hadapi selaku orang kristen, maka harus tetap didekati dengan  menggunakan kaca mata iman. Dalam hal ini, dengan menggunakan firman Tuhan sebagai satu-satunya ukuran mutlak dan bukan hasil rekaan pikiran dan perasaan manusia semata.
            Pembacaan kita pada saat ini mengisahkan tentang sebuah pengalaman nyata seorang hamba Tuhan sekaitan dengan persoalan vonis hukum sebab-akibat. Seorang pemazmur Israel, dalam hal ini Asaf,  menceritakan ulang sebuah pergumulan batinnya atas kenyataan hidup yang pernah dialaminya. Ia pernah mengalami gangguan pikiran. Bahkan hampir kehilangan pengharapan. Imannya sempat terusik oleh situasi keseharian yang dihadapinya. Secara kasat mata, ia menyaksikan dalam realitas kehidupannya bahwa ternyata ada  begitu banyak orang  yang hidupnya sebenarnya tidak dekat kepada Allah, tetapi  mereka justru mengalami keadaan yang lebih baik dari sudut ekonomi, kesehatan dan lain-lain, dibandingkan dirinya dan sesamanya yang lebih dekat kepada Allah.
Ia dihinggapi rasa cemburu karena ia mulai membanding-bandingkan keadaan dirinya dengan orang-orang fasik. Ia mempertanyakan keadaan orang-orang fasik; yang kelihatan justru selalu mengalami kemujuran. Antara lain;  penyakit sama sekali tidak menyentuhnya, melainkan selalu dalam keadaan sehat. Juga kelihatan tidak mengalami kesusahan dan tidak kena tulah sebagai hukuman. Bahkan lebih menyakitkan lagi, ia melihat dan mendengar, dengan begitu congkaknya, orang-orang fasik semakin berani membual. Dan dengan bangganya berusaha meyakinkan orang-orang percaya untuk mengikuti mereka dan berbalik meninggalkan imannya. Orang-orang fasik malah mulai mengolok-olok keberadaan Allah Yang Mahatinggi (yang disembah oleh orang-orang percaya) sebagai Allah yang tidak tahu apa-apa  (ay.3 – 12 ).
Selanjutnya, pemazur melihat dirinya sendiri, yang boleh dikategorikan sebagai orang yang taat kepada Allah, namun  justru seolah tidak dipedulikan oleh Allah. Ia percaya bahwa Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya (ay. 1). Tetapi atas ketulusan hati yang dinyatakannya, ia seakan tidak melihat adanya kebaikan yang dilakukan Allah bagi dirinya. Malah sebaliknya,ia merasa hari-harinya sering diwarnai oleh kehadiran tulah dan hukuman. Akibatnya, ia hampir merasa sia-sia mempertahankan iman dan ketulusan hatinya di hadapan Tuhan (ay. 13-14).  Ia mulai berpikir, “Ah, apa perlunya aku memelihara kemurnian hatiku? Rupanya percuma saja semua itu, bila nyatanya mereka berhasil padahal aku tidak!”
                Namun di tengah-tengah pergumulan dan kebingungannya, sebelum ia terpeleset, ia segera menghampiri hadirat Allah. Di hadapan Allahlah, ia belajar untuk memahami bahwa apa yang nampak dari luar- seringkali menipu. Sebab Allah menyediakan yang terbaik bagi mereka yang setia kepada-Nya. Allah selalu berada di pihak umat-Nya, dan merupakan kekuatan di masa kini dan bagian kemuliaan di masa depan. Tetapi si fasik dengan segala kebanggaan atas kemakmurannya (yang seolah sudah menikmati keaadaannya sekarang ini), justru akan binasa kelak karena ketidak setiaannya. Pemazmur lalu tersentak dan kembali tersadar. Kemudian ia berusaha bisa bersikap lebih arif dan bijaksana. Sebelum imannya sungguh-sungguh goyah lalu jatuh tergelincir, ia  masih bisa berpikir dengan benar, lalu mengambil keputusan untuk tetap berharap hanya kepada Allah.
Ia mampu bersikap optimis akan terjadinya situasi yang lebih baik bagi dirinya di kemudian hari. Sehingga iapun berkomitmen untuk tetap dekat dan bergantung kepada Allah saja, untuk selamanya, apapun situasi yang dialaminya. Ia sadar bahwa pergumulan yang dihadapinya sekarang ini hanyalah sementara. Ia yakin dan sepenuhnya bahwa suatu kelak, keadaanya yang penuh pergumulan akan berganti dengan sukacita surgawi penuh pengharapan. Sedangkan kesenangan dan keangkuhan orang-orang fasik diyakini hanya sementara saja, dan akan tergantikan oleh kebinasaan.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Kristus Yesus,
Menghadapi situasi hidup kita sehari-hari, menjalani prinsip keimanan kita di balik semua kenyataan hidup yang kita alami, jangan sampai kita terjebak ke dalam klaim tentang ‘hukum sebab-akibat’ yang sebenarnya tidak benar, dan hanya merupakan hasil rekaan pikiran dan perasaan manusia semata. Atau karena tipuan penglihatan mata kita. Sebab penderitaan atas suatu penyakit, kesusahan karena kemiskinan secara ekonomi dan sejenisnya, bukanlah sebuah ukuran untuk memberikan klaim bahwa itu adalah akibat karena kurang percaya kepada Allah. Atau sebagai akibat karena mengimani Allah yang salah. Begitupun sebaliknya; kekayaan secara materil, kekuatan secara jasmani bukanlah menjadi sebuah ukuran mutlak untuk menjatuhkan vonis (penilaian) bahwa itu semua adalah bukti dari keberadaan hidup orang yang percaya. Atau sebagai bukti bahwa kita diberkati. Keberhasilan tidak selamanya menjadi tanda berkat Allah. Sebab bisa saja kekayaan justru menjadi kutuk karena  didapat dengan cara yang salah, bahkan tidak jarang dengan mengorbankan orang lain. Disamping itu, kitapun tidak bisa menutup mata kalau banyak juga orang kristen yang berhasil di berbagai bidang, lalu kaya, dan semuanya itu didapatkan atas jerih lelah dengan imannya.
Oleh karena itu, janganlah kita membenamkan diri dalam rasa iri hati kalau orang lain berhasil, walau orang fasik sekalipun. Memang, tidak dapat disangkali bahwa sebagian besar orang kristen di dunia ini ( terutama di Negara yang sedang berkembang) justru hidup dalam kemiskinan. Tetapi kita berharap kepada janji Allah bahwa Dia memilih yang miskin dari dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman (band. Yak. 2 : 5 )
Memaknai hidup dalam iman bagi kemuliaan Allah merupakan sebuah keharusan bagi kita selaku orang percaya. Oleh karena itu, penyerahan diri secara tulus, total dan tanpa syarat adalah merupakan sebuah hal yang mesti kita miliki. Artinya, tidak boleh ada penyerahan diri secara setengah-setengah. Atau dengan memberi syarat, bahwa kita hanya mau percaya kepada Allah saat mengalami keadaan baik-baik saja, lalu meninggalkan Allah serta mempersalahkan Allah kala keadaan kurang baik datang menghampiri. Tetapi hendaklah kita berharap kepada-Nya selalu dan dekat hadirat-Nya dalam situasi apapun, sekalipun pergumulan hidup silih berganti menerpa.
Janganlah ragu tentang kasih Allah! Bukankah kasih Allah yang terbesar dan sempurna telah dinyatakan melalui anak-Nya yang tunggal, yaitu Yesus Kristus? Di dalam Dialah kita bisa memiliki janji dan pengharapan yang jauh lebih baik dan sempurna dibanding harapan-harapan yang sering dibanggakan orang fasik.  Sebab orang yang memiliki pengharapan di dalam Kristus selalu melihat adanya kesempatan yang baik dalam setiap kesulitan, dan bukan melihat kesulitan di setiap kesempatan.
Biarlah oleh Roh Allah yang kudus senantiasa memberi kita pengharapan dalam menghadapi pergumulan. Haleluyah!
 Amin…!

No comments:

Post a Comment