NIKMATI APA ADANYA….!!
Amsal 17:1
Saudara-saudara yang
dikasihi Tuhan,
Ada sebuah petuah dari para orangtua
kita yang selalu mereka tanamkan dalam hati dan pikiran kita yang berbunyi “moi ia tu’tuk lada bangri dikande, ke
sipakaboro’ siaki’, nang lendu’
ia masannangta,..” (meskipun menu lauk kita
hanyalah lombok semata, namun kita saling menghargai dan menyayangi, itu akan
mendatangkan sukacita dan kebahagiaan). Ungkapan yang sangat sederhana ini
membawa kita pada sebuah pengajaran yang luar biasa. Dengan petuah ini, para
orangtua ingin mengajarkan dan menyampaikan pada kita bahwa ternyata, harta
yang ada pada diri kita itu bukanlah segalanya. Dengan nasihat ini, mereka
ingin menanamkan dalam hati kita masing-masing, jika kekayaan yang berlimpah
dalam hidup ini, tidak menjadi jaminan akan hadirnya kebahagiaan dan damai
sejahtera dalam menjalani hidup. Justru sebaliknya, petuah ini mengajarkan jika
hubungan dan keharmonisanlah yang menjadi junjungan tertinggi dalam hidup.
Meskipun harus diakui bahwa nilai seperti ini semakin hari semakin menipis
dalam hidup bermasyarakat, karena paham dan nilai individualisme yang semakin
menyerang serta mengakar dalam masyarakat. Karena itu, tidaklah mengherankan
jika dalam beberapa waktu terakhir, kita sering mendengar atau melihat di
berbagai media cetak adanya pertengkaran dan perkelahian, bahkan tidak jarang
berujung pada pembunuhan hanya karena memperebutkan sesuatu. Hampir-hampir saja
orang menyamakan nilai sesamanya manusia dengan nilai harta benda dan kekayaan.
Bahkan mungkin, ada orang yang sekarang
justru lebih mementingkan harta benda (kekayaan), dibandingkan dengan
sesamanya manusia. Ada orang yang justru lebih memilih mengorbankan sesamanya
manusia demi mendapatkan hal yang diinginkan.
Hal inilah yang mungkin dimaksud
oleh Aristoteles, seorang filsuf dari Yunani kuno ketika dia mengatakan
“manusia adalah serigala bagi sesamanya manusia”. Artinya, sangat sering kta
menjadi ancaman bagi sesama kita manusia. Sebaliknya, juga tidak jarang kitalah
yang memandang sesama kita sebagai serigala dan ancaman bagi kita, sehingga
yang ada adalah, curiga mencurigai di antara kita. Karena yang kita pikirkan
hanya terkait dengan hal-hal yang negatif tentang sesama kita. Kita selalu
memikirkan sesama kita akan memojokkan dan menciderai kita. Kita selalu
memikirkan sesama dan saudara kita untuk menghancurkan dan merobohkan kita,
sehingga kita tidak sejahtera dan selalu berada di bawah perasaan yang was-was
setiap saat, sebab yang kita pikirkan hanya, “jangan-jangan tetanggaku ini akan
begini kepada saya dan sebagainya”. Tapi hal ini tidak berhenti sampai di situ
saja. Kita juga sering menyaksikan dan mendengarkan, ada kasus di mana sebuah
keluarga hancur dan saling sikut menyikut hanya karena memperebutkan sesuatu.
Seorang ayah atau ibu memilih untuk bertengkar dengan saudara kandungnya
sendiri, demi untuk mendapatkan harta warisan yang sebanyak-banyaknya dari
orangtua. Mengapa ini terjadi? Itu karena sifat mendasar manusia yang tidak
pernah puas dengan segala hal yang ada padanya. Ketika dia sudah punya satu,
dia mau yang dipunyainya menjadi dua. Ketika dia punya dua, dia mau itu
bertambah menjadi tiga dan seterusnya. Ketika dulunya dia hanya punya sepeda,
dia ingin sepedanya suatu hari menjadi sepeda motor. Ketika dia sudah punya
motor, dia mau lagi motornya menjadi mobil dan seterusnya.
Sikap dan sifat ketidakpuasan inilah
yang selalu mendominasi setiap manusia dalam
hidupnya, yang membuat dirinya
selalu ingin memperoleh sesuatu yang lebih banyak, dari apa yang dimilikinya
sekarang. Sifat dan keinginan seperti ini pada dasarnya tidak salah. Bahkan
sifat dan sikap ini sangat wajar dan manusiawi. Namun sangat fatal ketika sifat
dan sikap ini yang menjadi tujuan dan motivasi utama dalam hidup. Kita akan
menjadi orang-orang yang sangat individualistik (hanya mementingkan diri
sendiri) dan materialistik (segalanya diukur dengan materi). Karena segalanya
diukur dengan materi, dan materi itu sendirilah yang menjadi tujuan dan
orientasi kita, maka sikap dan sifat itu akan membawa kita pada ketamakan dan
kerakusan untuk selalu memperkaya diri, tanpa memikirkan apakah cara untuk kaya
itu benar atau salah.
Saudara-saudara yang
dikasihi Tuhan,
Sifat dan sikap ketamakan inilah
yang menjadi orientasi bacaan kita hari ini. Raja Salomo yang dianggap sebagai
penulis kitab Amsal ini mencoba untuk menulis sebuah ungkapan hikmat yang luar
biasa untuk kemudian menjadi nasihat dan peringatan bagi setiap orang yang
hidup di dunia. Mari kita perhatikan apa yang dia katakan, “Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketenteraman,
daripada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan”. Catatan
Salomo ini merupakan sebuah kesimpulan dari pengamatan yang dia lakukan
terhadap perjalanan kehidupannya sendiri dan pengamatannya terhadap kehidupan
orang-orang yang ada di sekitarnya. Salomo yang dikenal sebagai raja yang
berhikmat sepanjang sejarah karena penyertaan dari Tuhan, sekaligus menjadi
raja yang paling kaya dan sukses dalam hidupnya terkait dengan harta kekayaan,
memperoleh pengalaman berharga ketika kekayaan yang dimilikinya telah sangat
berlimpah dan tidak tahu harus mau diapakan lagi kekayaannya. Dia menyaksikan
bagaimana perbedaan mendasar perjalanan hidupnya ketika dia belum menjadi seorang
raja dan masih hidup dalam kesederhanaan, dibanding ketika dia telah memegang
tampuk pemerintahan dan memiliki segalanya. Sangat jelas dan nyata bagi seorang
Salomo yang telah memiliki banyak harta tentang kondisi kehidupan yang
dialaminya sebelum dia menjadi seorang raja dan setelah dia berkuasa. Dia
merasakan bahwa ternyata yang namanya kekayaan yang
diibaratkannya/digambarkannya dengan makanan daging serumah, tidaklah menjamin
sebuah kebahagiaan dan kedamaian dalam sebuah rumah tangga.
Salomo melihat dan menyaksikan
dengan pengamatannya sendiri bahwa sangat banyak rakyat, dan tidak menutup
kemungkinan dalam keluarganya sendiri, terjadi
perkelahian dan perbantahan
karena perebutan dan penguasaan “makanan” tadi. Jika selama ini Salomo
berpikir tentang kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan dapat diperoleh dengan
mengumpulkan makanan daging sebanyak-banyaknya, pada akhirnya Salomo menyadari
bahwa itu bukanlah jaminan ketenteraman. Justru sebaliknya, Salomo pun
menyaksikan berbagai kehidupan masyarakat di sekitarnya, yang hidup dalam
kondisi yang pas-pasan dengan nuansa kesederhanaan, tapi menikmati ketentraman
dan kedamaian, karena selalu hidup dalam saling mengasihi dan menyayangi.
Perkataan yang diucapkan Salomo ini merupakan fakta kehidupan yang dialaminya
dalam istana yang setiap hari dijamu dengan makanan-makanan istana yang
“enak-enak” karena daginglah yang selalu menjadi menu makanannya, lalu
membandingkan situasi dan keadaan tersebut dengan situasi yang dialami oleh
rakyat atau masyarakat yang ada di sekitar rumahnya, yang hanya menjadikan roti
kering sebagai bahan pokok makanan mereka setiap hari. Dia sangat sedih ketika
mengetahui bahwa meskipun setiap hari dia menikmati makanan daging yang
berlimpah, tapi setelah itu yang ada adalah perbantahan, pertengkaran serta
saling curiga dibanding dengan orang-orang yang makan dengan makanan yang
sederhana tapi mereka menikmati hidup dalam kedamaian dan ketentraman. Karena
itulah dia mengatakan, lebih baik kita hanya makan yang sederhana saja, yakni
roti kering tapi kita merasa senang daripada kita makan daging tapi selalu
hidup dalam keresahan batin.
Dengan demikian, kita semua yang
hadir dapat belajar bahwa memang ketentraman dan kebahagiaanlah yang harusnya
menjadi kunci dan prioritas kita semua dalam menjalani hidup. Salomo telah
sangat memahamai dan menyadari itu. Ternyata orang yang memiliki harta dan
segala-galanya dalam keterbatasan, dapat menikmati hidup yang sesungguhnya
karena mereka menikmati apa yang ada pada diri mereka. Meskipun apa yang mereka
miliki itu dipandang sebagai sesuatu yang masih kurang bagi orang lain, itu
bukanlah masalah untuk menikmati ketenteraman. Ketenteraman tidak ditentukan
oleh berapa banyak kekayaan yang kita punya, tapi ditentukan oleh sejauh mana
kita menikmati apa yang ada pada kita. Meskipun yang kita miliki itu sangat
terbatas, tapi kita menerima itu sebagai pemberian dan berkat yang asalnya dari
Tuhan, maka kita pasti menikmati berkat tersebut. Terlebih jika apa yang kita
miliki itu diperoleh dengan ketekunan dan kerja keras, maka kedamaian dan
ketentraman itu akan menjadi milik kita. Tapi yakinlah kegelisahan dan
kekuatiran akan senantiasa menemani perjalanan hidup kita, jika apa yang kita
peroleh itu berlimpah tapi didapatkan dengan cara-cara yang tidak baik, maka
pada akhirnya itu akan mendatangkan petaka bagi hidup kita. Dengan demikian,
jelas bagi kita dan keluarga yang hadir bahwa, Tuhan mengajarkan kepada kita
untuk hidup dalam kehendak dan penyertaan-Nya. Karena itulah, Amsal 15:16
menyatakan bahwa “lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan
daripada banyak harta dengan disertai kecemasan”.
Saudara-saudara yang
dikasihi Tuhan,
Tuhan tidaklah melarang kita menjadi
kaya atau pun memiliki harta yang berlimpah untuk dinikmati dalam hidup. Tuhan
sedikit pun tidak pernah membataasi umat-Nya untuk memiliki banyak hal dalam
hidup ini. Justru sebaliknya, Tuhan menginginkan semua umat-Nya hidup dalam
kesejahteraan. Hanya saja, selalu menjadi peringatan dan pengajaran bahwa,
apakah kekayaan atau harta yang diperoleh itu adalah sesuatu yang diperoleh
dengan cara yang baik dan sesuai dengan kehendak Tuhan, atau diperoleh dengan
cara yang justru melanggar kehendak-Nya. Karena jika kemudian apa yang dimiliki
itu merupakan sesuatu yang diambil dari hak orang lain, maka pada akhirnya itu
akan mendatangkan malapetaka dan bukannya ketenteraman. Dengan
demikian,
jelaslah bagi kita semua agar hendaknya hidup dalam cara yang telah Tuhan
nyatakan kepada kita. Mari menikmati dan menjalani hidup kita ini apa adanya. Mari
kelola dan menata hidup kita sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang kita
miliki. Jika kita memang hanya
berpenghasilan 2 juta dalam sebulan, mari kelola dan pergunakan itu dengan baik
dan sebijak mungkin. Jika kita memang berpenghasilan 3 juta sebulan, mari
pergunakan itu dengan penuh tanggungjawab. Cukupkanlah kebutuhan kita dengan
apa yang ada pada kita dan tidak usah memaksa diri untuk ikut-ikutan dengan
kebiasaan orang-orang yang mungkin lebih dari kita. Mari nikmati hidup ini apa adanya dan jangan ada apanya. Karena
lebih baik berpenghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada berpenghasilan
banyak tanpa keadilan (Amsal 16:8). AMIN.
No comments:
Post a Comment