Tuesday, June 9, 2015

NIKMATI APA ADANYA….!!



NIKMATI APA ADANYA….!!
Amsal 17:1
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Ada sebuah petuah dari para orangtua kita yang selalu mereka tanamkan dalam hati dan pikiran kita yang berbunyi “moi ia tu’tuk lada bangri dikande, ke sipakaboro’ siaki’, nang lendu’
ia masannangta,..” (meskipun menu lauk kita hanyalah lombok semata, namun kita saling menghargai dan menyayangi, itu akan mendatangkan sukacita dan kebahagiaan). Ungkapan yang sangat sederhana ini membawa kita pada sebuah pengajaran yang luar biasa. Dengan petuah ini, para orangtua ingin mengajarkan dan menyampaikan pada kita bahwa ternyata, harta yang ada pada diri kita itu bukanlah segalanya. Dengan nasihat ini, mereka ingin menanamkan dalam hati kita masing-masing, jika kekayaan yang berlimpah dalam hidup ini, tidak menjadi jaminan akan hadirnya kebahagiaan dan damai sejahtera dalam menjalani hidup. Justru sebaliknya, petuah ini mengajarkan jika hubungan dan keharmonisanlah yang menjadi junjungan tertinggi dalam hidup. Meskipun harus diakui bahwa nilai seperti ini semakin hari semakin menipis dalam hidup bermasyarakat, karena paham dan nilai individualisme yang semakin menyerang serta mengakar dalam masyarakat. Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam beberapa waktu terakhir, kita sering mendengar atau melihat di berbagai media cetak adanya pertengkaran dan perkelahian, bahkan tidak jarang berujung pada pembunuhan hanya karena memperebutkan sesuatu. Hampir-hampir saja orang menyamakan nilai sesamanya manusia dengan nilai harta benda dan kekayaan. Bahkan mungkin, ada orang yang sekarang  justru lebih mementingkan harta benda (kekayaan), dibandingkan dengan sesamanya manusia. Ada orang yang justru lebih memilih mengorbankan sesamanya manusia demi mendapatkan hal yang diinginkan.
Hal inilah yang mungkin dimaksud oleh Aristoteles, seorang filsuf dari Yunani kuno ketika dia mengatakan “manusia adalah serigala bagi sesamanya manusia”. Artinya, sangat sering kta menjadi ancaman bagi sesama kita manusia. Sebaliknya, juga tidak jarang kitalah yang memandang sesama kita sebagai serigala dan ancaman bagi kita, sehingga yang ada adalah, curiga mencurigai di antara kita. Karena yang kita pikirkan hanya terkait dengan hal-hal yang negatif tentang sesama kita. Kita selalu memikirkan sesama kita akan memojokkan dan menciderai kita. Kita selalu memikirkan sesama dan saudara kita untuk menghancurkan dan merobohkan kita, sehingga kita tidak sejahtera dan selalu berada di bawah perasaan yang was-was setiap saat, sebab yang kita pikirkan hanya, “jangan-jangan tetanggaku ini akan begini kepada saya dan sebagainya”. Tapi hal ini tidak berhenti sampai di situ saja. Kita juga sering menyaksikan dan mendengarkan, ada kasus di mana sebuah keluarga hancur dan saling sikut menyikut hanya karena memperebutkan sesuatu. Seorang ayah atau ibu memilih untuk bertengkar dengan saudara kandungnya sendiri, demi untuk mendapatkan harta warisan yang sebanyak-banyaknya dari orangtua. Mengapa ini terjadi? Itu karena sifat mendasar manusia yang tidak pernah puas dengan segala hal yang ada padanya. Ketika dia sudah punya satu, dia mau yang dipunyainya menjadi dua. Ketika dia punya dua, dia mau itu bertambah menjadi tiga dan seterusnya. Ketika dulunya dia hanya punya sepeda, dia ingin sepedanya suatu hari menjadi sepeda motor. Ketika dia sudah punya motor, dia mau lagi motornya menjadi mobil dan seterusnya. 
Sikap dan sifat ketidakpuasan inilah yang selalu mendominasi setiap manusia dalam
hidupnya, yang membuat dirinya selalu ingin memperoleh sesuatu yang lebih banyak, dari apa yang dimilikinya sekarang. Sifat dan keinginan seperti ini pada dasarnya tidak salah. Bahkan sifat dan sikap ini sangat wajar dan manusiawi. Namun sangat fatal ketika sifat dan sikap ini yang menjadi tujuan dan motivasi utama dalam hidup. Kita akan menjadi orang-orang yang sangat individualistik (hanya mementingkan diri sendiri) dan materialistik (segalanya diukur dengan materi). Karena segalanya diukur dengan materi, dan materi itu sendirilah yang menjadi tujuan dan orientasi kita, maka sikap dan sifat itu akan membawa kita pada ketamakan dan kerakusan untuk selalu memperkaya diri, tanpa memikirkan apakah cara untuk kaya itu benar atau salah.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Sifat dan sikap ketamakan inilah yang menjadi orientasi bacaan kita hari ini. Raja Salomo yang dianggap sebagai penulis kitab Amsal ini mencoba untuk menulis sebuah ungkapan hikmat yang luar biasa untuk kemudian menjadi nasihat dan peringatan bagi setiap orang yang hidup di dunia. Mari kita perhatikan apa yang dia katakan, “Lebih baik sekerat roti yang kering disertai dengan ketenteraman, daripada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan”. Catatan Salomo ini merupakan sebuah kesimpulan dari pengamatan yang dia lakukan terhadap perjalanan kehidupannya sendiri dan pengamatannya terhadap kehidupan orang-orang yang ada di sekitarnya. Salomo yang dikenal sebagai raja yang berhikmat sepanjang sejarah karena penyertaan dari Tuhan, sekaligus menjadi raja yang paling kaya dan sukses dalam hidupnya terkait dengan harta kekayaan, memperoleh pengalaman berharga ketika kekayaan yang dimilikinya telah sangat berlimpah dan tidak tahu harus mau diapakan lagi kekayaannya. Dia menyaksikan bagaimana perbedaan mendasar perjalanan hidupnya ketika dia belum menjadi seorang raja dan masih hidup dalam kesederhanaan, dibanding ketika dia telah memegang tampuk pemerintahan dan memiliki segalanya. Sangat jelas dan nyata bagi seorang Salomo yang telah memiliki banyak harta tentang kondisi kehidupan yang dialaminya sebelum dia menjadi seorang raja dan setelah dia berkuasa. Dia merasakan bahwa ternyata yang namanya kekayaan yang diibaratkannya/digambarkannya dengan makanan daging serumah, tidaklah menjamin sebuah kebahagiaan dan kedamaian dalam sebuah rumah tangga.
Salomo melihat dan menyaksikan dengan pengamatannya sendiri bahwa sangat banyak rakyat, dan tidak menutup kemungkinan dalam keluarganya sendiri, terjadi  perkelahian dan perbantahan  karena perebutan dan penguasaan “makanan” tadi. Jika selama ini Salomo berpikir tentang kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan dapat diperoleh dengan mengumpulkan makanan daging sebanyak-banyaknya, pada akhirnya Salomo menyadari bahwa itu bukanlah jaminan ketenteraman. Justru sebaliknya, Salomo pun menyaksikan berbagai kehidupan masyarakat di sekitarnya, yang hidup dalam kondisi yang pas-pasan dengan nuansa kesederhanaan, tapi menikmati ketentraman dan kedamaian, karena selalu hidup dalam saling mengasihi dan menyayangi. Perkataan yang diucapkan Salomo ini merupakan fakta kehidupan yang dialaminya dalam istana yang setiap hari dijamu dengan makanan-makanan istana yang “enak-enak” karena daginglah yang selalu menjadi menu makanannya, lalu membandingkan situasi dan keadaan tersebut dengan situasi yang dialami oleh rakyat atau masyarakat yang ada di sekitar rumahnya, yang hanya menjadikan roti kering sebagai bahan pokok makanan mereka setiap hari. Dia sangat sedih ketika mengetahui bahwa meskipun setiap hari dia menikmati makanan daging yang berlimpah, tapi setelah itu yang ada adalah perbantahan, pertengkaran serta saling curiga dibanding dengan orang-orang yang makan dengan makanan yang sederhana tapi mereka menikmati hidup dalam kedamaian dan ketentraman. Karena itulah dia mengatakan, lebih baik kita hanya makan yang sederhana saja, yakni roti kering tapi kita merasa senang daripada kita makan daging tapi selalu hidup dalam keresahan batin.
Dengan demikian, kita semua yang hadir dapat belajar bahwa memang ketentraman dan kebahagiaanlah yang harusnya menjadi kunci dan prioritas kita semua dalam menjalani hidup. Salomo telah sangat memahamai dan menyadari itu. Ternyata orang yang memiliki harta dan segala-galanya dalam keterbatasan, dapat menikmati hidup yang sesungguhnya karena mereka menikmati apa yang ada pada diri mereka. Meskipun apa yang mereka miliki itu dipandang sebagai sesuatu yang masih kurang bagi orang lain, itu bukanlah masalah untuk menikmati ketenteraman. Ketenteraman tidak ditentukan oleh berapa banyak kekayaan yang kita punya, tapi ditentukan oleh sejauh mana kita menikmati apa yang ada pada kita. Meskipun yang kita miliki itu sangat terbatas, tapi kita menerima itu sebagai pemberian dan berkat yang asalnya dari Tuhan, maka kita pasti menikmati berkat tersebut. Terlebih jika apa yang kita miliki itu diperoleh dengan ketekunan dan kerja keras, maka kedamaian dan ketentraman itu akan menjadi milik kita. Tapi yakinlah kegelisahan dan kekuatiran akan senantiasa menemani perjalanan hidup kita, jika apa yang kita peroleh itu berlimpah tapi didapatkan dengan cara-cara yang tidak baik, maka pada akhirnya itu akan mendatangkan petaka bagi hidup kita. Dengan demikian, jelas bagi kita dan keluarga yang hadir bahwa, Tuhan mengajarkan kepada kita untuk hidup dalam kehendak dan penyertaan-Nya. Karena itulah, Amsal 15:16 menyatakan bahwa “lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan daripada banyak harta dengan disertai kecemasan”.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Tuhan tidaklah melarang kita menjadi kaya atau pun memiliki harta yang berlimpah untuk dinikmati dalam hidup. Tuhan sedikit pun tidak pernah membataasi umat-Nya untuk memiliki banyak hal dalam hidup ini. Justru sebaliknya, Tuhan menginginkan semua umat-Nya hidup dalam kesejahteraan. Hanya saja, selalu menjadi peringatan dan pengajaran bahwa, apakah kekayaan atau harta yang diperoleh itu adalah sesuatu yang diperoleh dengan cara yang baik dan sesuai dengan kehendak Tuhan, atau diperoleh dengan cara yang justru melanggar kehendak-Nya. Karena jika kemudian apa yang dimiliki itu merupakan sesuatu yang diambil dari hak orang lain, maka pada akhirnya itu akan mendatangkan malapetaka dan bukannya ketenteraman. Dengan
demikian, jelaslah bagi kita semua agar hendaknya hidup dalam cara yang telah Tuhan nyatakan kepada kita. Mari menikmati dan menjalani hidup kita ini apa adanya. Mari kelola dan menata hidup kita sesuai dengan kemampuan dan kapasitas yang kita miliki. Jika kita memang  hanya berpenghasilan 2 juta dalam sebulan, mari kelola dan pergunakan itu dengan baik dan sebijak mungkin. Jika kita memang berpenghasilan 3 juta sebulan, mari pergunakan itu dengan penuh tanggungjawab. Cukupkanlah kebutuhan kita dengan apa yang ada pada kita dan tidak usah memaksa diri untuk ikut-ikutan dengan kebiasaan orang-orang yang mungkin lebih dari kita. Mari nikmati hidup ini apa adanya dan jangan ada apanya. Karena lebih baik berpenghasilan sedikit disertai kebenaran, daripada berpenghasilan banyak tanpa keadilan (Amsal 16:8). AMIN. 

No comments:

Post a Comment