ALLAH TIDAK PERNAH
MENINGGALKAN KITA
Bacaan : Mazmur 22 :2-3
Siapapun kita yang hadir di sini
saat ini, pasti memiliki berbagai pertanyaan dalam hati terkait dengan
peristiwa kematian yang dialami oleh almarhum/almarhumah yang kita kasihi.
Salah satu pertanyaan yang mungkin ada dalam benak kita masing-masing adalah,
mengapa kematian itu harus terjadi! Mengapa kematian itu harus menimpa
kehidupan manusia! Mengapa Tuhan tidak membiarkan kita tetap hidup saja untuk
selama-lamanya! Terlebih, ketika kematian yang dialami oleh orangtua, atau
saudara almarhum/almarhumah, merupakan kematian yang “tidak wajar” dalam
pandangan kita. Maka fenomena kematian ini, akan membuat kita semakin bertanya-tanya
dalam hidup ini, dengan selalu mengatakan, mengapa! mengapa! dan mengapa!
Mengapa dia harus mati? Mengapa dia harus begitu cepat pergi? Mengapa dia mati
dengan cara yang demikian? Mengapa Tuhan tidak menolongnya? Apa salah dan dosa
kami, sehingga Tuhan memberi ujian yang tidak mampu kami jalani? Dan masih
banyak pertanyaan-pertanyaan lain, yang muncul dalam hati dan pikiran kita,
terkait dengan peristiwa kematian yang kita saksikan ini.
Pertanyaan-pertanyaan yang kita
ajukan itu, merupakan serangkaian pertanyaan, yang menggambarkan kekecewaan
hati setiap kita, dan sepertinya sulit untuk menerima kenyataan itu. Kita
merasa, Tuhan sudah jauh dan tidak peduli kepada kita. Kita merasa bahwa, kita
tidak patut untuk menerima pencobaan ini. Kita merasa, bahwa Tuhan sangat tidak
adil dengan diri kita. Kita sudah berkali-kali mengalami pencobaan, tapi kini
Tuhan memberikan lagi pencobaan yang semakin berat. Kita merasa, kita sudah
jatuh, toh tertimpa tangga lagi. Lalu, jika situasinya sudah sedemikaian beratnya,
maka apakah lagi yang bisa dilakukan?
saudara-saudara yang
sama dikasihi Tuhan,
Jeritan kesakitan seperti ini,
bukanlah untuk yang pertama kalinya kita dengarkan, saksikan atau bahkan
mungkin kita ungkapkan sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap saat
kita selalu saja mengeluh dan menjerit dengan berbagai-bagai persoalan yang
sementara menimpa kita. Mengeluh dan mengungkapkan ketidakberdayaan di hadapan
Tuhan itu, adalah hal yang sangat wajar, karena hanya Dialah satu-satunya
pendengar dan penghibur yang selalu setia, yang akan memberi kelegaan bagi
setiap orang yang benar-benar datang dan
berserah hanya kepada-Nya. Namun, menjadi sebuah catatan menarik untuk selalu
kita renungkan secara bersama-sama adalah, masalah mengeluh dan bertanya-tanya
kepada Tuhan, bukanlah masalah yang baru ada dan hadir kemarin di tengah-tengah kita. Persoalan menjerit di
hadapan Tuhan, bukanlah kita dan manusia-manusia sekarang yang memulai dan
melakukannya. Namun persoalan mengeluh di hadapan Tuhan itu, sudah ada sejak
dulu, bahkan sejak manusia jatuh ke dalam dosa, hampir selalu manusia mengeluh
dan mengeluh di hadapan Tuhan. (Sebutkan contohnya dari cerita, Kain, Abraham,
Yakub, Musa dan beberapa tokoh lainnya). Keluhan-keluhan yang mereka sampaikan
itu, selalu terkait dengan pergumulan hidup yang begitu berat, dan seolah-olah
tidak mampu lagi untuk dipikul.
Yang menarik dari setiap
keluhan-keluhan itu, hampir semuanya selalu merasa diri berada pada posisi yang
benar, sehingga tidak layak untuk melalui pergumulan berat, dan seolah-olah
mereka menyalahkan Tuhan dengan kondisi yang dialami. Situasi seperti ini
jugalah yang dialami dan dikeluhkan oleh Daud dalam pembacaan kita tadi. Dalam
ayat 2 bacaan kita tadi, Daud berseru dengan mengatakan: “Allahku, Allahku, mengapa
Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak
menolong aku”. Dengan sangat jelas, kita bisa membayangkan keberadaan dan
keadaan Daud yang sementara dalam sebuah pergumulan serta beban yang sangat
berat. Daud sepertinya sudah hampir-hampir menyerah dengan kondisi yang sedang
dialaminya. Dia capek, dia lelah, dia letih dan tidak tahu lagi mau berbuat
apa. Dia sudah berdoa, dia sudah berseru, dia sudah menyampaikan
keluhan-keluhannya kepada Tuhan, namun sampai saat ini, Daud tidak melihat
adanya tanda-tanda bahwa Tuhan akan segera datang untuk menolong dan
membebaskan Daud dari beban berat yang dialaminya.
Saudara saudara yang
dikasihi Tuhan,
Mazmur 22 yang kita baca kali ini,
merupakan sebuah ungkapan hati Daud, ketika dia berada dalam pengejaran yang
tak habis-habisnya dari Saul, yang berencana untuk membunuhnya (1 Samuel
19:1-24). Dalam pengejaran dari Saul itu, Daud selalu bertanya-tanya, apakah
ada sebuah kesalahan yang dia telah lakukan, yang membuatnya terus menerus berada
dalam pengejaran Saul sebagai “buronan”? Daud merasa tidak punya kesalahan,
yang membuat Saul harus membenci dirinya sampai harus membunuhnya! Terlebih
Jika kita kembali membaca bagaimana Saul selalu berencana untuk membunuh Daud,
maka kita bisa menyaksikan, bagaimana rasa ketakutan dan kekuatiran itu
senantiasa “merongrong” kehidupan Daud. Setiap saat Daud harus selalu melarikan
diri dari suatu daerah ke daerah lain hanya untuk menghindari usaha Saul
membunuhnya. Terkadang Daud belum mendapat ketenangan karena baru tiba di
sebuah tempat yang baru, dia harus segera melarikan diri untuk mencari tempat
yang baru untuk melarikan diri, dan itu terjadi sampai beberapa kali dalam
pelariannya. Hingga akhirnya, Daud merasa lelah dan tidak kuat lagi untuk terus
menerus melarikan diri, dia pun mengungkapkan kalimat yang tadi kita telah baca
dan dengarkan bersama. Bagi Daud yang selalu berusaha lari dari kejaran Saul, dia
sudah jenuh dengan apa yang dialaminya. Dia sudah tidak dapat lagi berbuat
apa-apa, sampai dia pun merasa dirinya ditinggalkan oleh Allah! Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku, merupakan sebuah rintihan kesakitan
dan kesedihan yang sangat dalam. Daud menangis karena sepertinya Allah tidak
lagi peduli pada dirinya. Dia merasa Allah diam saja dengan segala beban dan
penderitaan yang dijalaninya. Dia sudah merasa bahwa Allah telah pergi
meninggalkan dia! Karena itulah Daud mengatakan, aku berseru pada waktu siang,
tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang!
Di manakah Engkau ya Allah? Mengapa
aku dibiarkan terperosok jauh ke dalam lubang yang sangat dalam, dan Engkau
tidak mau melepaskan aku! Kira-kira, seperti inilah jeritan dan keluhan Daud
kepada Tuhan, yang sepertinya sudah meninggalkan dirinya dalam kesusahannya
sendiri. Namun jika kita perhatikan bacaan kita secara keseluruhan, pada
akhirnya, Daud kemudian sadar bahwa ternyata Allah tidaklah pernah meninggalkan
dirinya, dan pertolongan Tuhan itu senantiasa datang pada saat yang tepat. Ayat
22 dari perikop ini, memberi kita kesaksian bahwa, Tuhan senantiasa setia
berada di sekitar kita, dan senantiasa mendengarkan setiap keluhan dan
jeritan-jeritan kita. Ayat 22 berbunyi, “Selamatkanlah aku dari mulut singa,
dan dari tanduk banteng. Engkau telah
menjawab aku!. Ya, inilah puncak dari semua keluhan Daud kepada Tuhan.
Ternyata, Allah menjawabnya dengan memberi pertolongan dan jawaban yang tidak
diduga sebelumnya. Daud kemudian menyadari bahwa, setiap hal yang dia ungkapkan
itu, entah berupa tangisan, atau pun keluhan, Tuhan selalu memberi diri untuk
mendengarkan itu. Daud kemudian menyadari bahwa, sekecil apa pun keluhan yang
dia katakan, Tuhan selalu ada mendengarnya. Karena itulah, Daud mengungkapkan
kesaksiannya itu dalam ayat 25b dengan mengatakan “Ia mendengar ketika orang
berteriak minta tolong kepada-Nya.
Saudara-saudara yang
dikasihi Tuhan,
Apa pesan yang ingin Tuhan
sampaikan, kepada keluarga dan kepada kita semua yang hadir melalui perenungan
firman Tuhan kali ini? Ada banyak hal yang bisa kita peroleh dari bacaan kita
tadi, namun paling tidak kita bisa mengetahui dan memahami bahwa:
1.
Setiap kita yang hadir kali ini, semuanya memiliki
berbagai macam persoalan hidup yang selalu setia menemani kita. Tidak ada satu
pun yang hadir saat ini, yang tidak memiliki persoalan atau masalah dalam
hidupnya. Justru jika ada orang yang mengatakan, bahwa dia tidak memiliki
persoalan atau masalah, maka itulah masalah terbesarnya. Karena setiap kita
memiliki persoalan hidup yang berbeda-beda, maka dalam menghadapi persoalan-persoalan
itu pun, kita punya cara dan pola yang berbeda untuk menyelesaikannya. Ada yang
bisa mengatasi persoalan atau masalah yang dihadapinya, dengan cara
menceriterakannya kepada orang lain. Karena itu, bagi kita semua yang sementara
bersusah, karena kematian orang yang kita kasihi ini, mari ceritakan dan
ungkapkan kesusahan kita itu kepada orang lain. Karena dengan berbagi dengan
orang lain, kita akan menemukan, bagaimana Allah menyatakan penghiburannya,
lewat kehadiran orang lain. Jangan kita diam saja dan menyimpannya, yang pada
akhirnya akan semakin memberatkan beban hidup kita. Karena itu jugalah, Tuhan
berpesan agar kita bersedia untuk menjadi pendengar yang setia untuk
saudara-saudara kita yang sementara bersusah karena duka yang dialami, jangan
justru kita meninggalkan mereka. Allah berkenan untuk memakai kita menjadi
alat-Nya untuk menyatakan penghiburan-Nya.
2.
Ketika
kita berada dalam sebuah pergumulan yang sangat berat dan menyakitkan,
terkadang kita lupa diri dan menjadi
orang-orang yang sudah putus harapan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sakit, beban hidup yang berat, terkadang membuat kita merasa bahwa Tuhan itu
sudah jauh dan meninggalkan kita. Karena itulah, kita pun sepertinya seringkali
“mengkambing hitamkan Tuhan” untuk beban yang kita alami. Kita merasa bahwa
bahwa Tuhan terlalu “kejam”, memberi kita beban yang tidak mampu untuk kita
pikul. Kita merasa Tuhan tidak adil dengan jalan hidup yang Dia berikan kepada
kita. Padahal, ketika kita lagi hidup tenang dan sukses, kita merasa bahwa
kitalah orang yang paling disayangi dan diberkati Tuhan, dengan segala yang ada
pada kita. Kita kadang hanya melihat Tuhan, dengan sebelah mata kita. Kita
mengatakan Dia baik jika kita menjalani hari-hari yang baik, dan mengatakan Dia
tidak baik, jika kita lagi mengalami kesusahan. Kita kadang hanya mau menerima
hal-hal yang baik dari Tuhan, dan menolak setiap pengujian iman yang Tuhan
nyatakan, melalui pergumulan-pergumulan hidup yang dijalani. Tuhan tidak pernah
mengatakan bahwa hidup ini akan selalu baik-baik saja. Namun yang Tuhan
katakan, Dia akan selalu menemani kita. Jelas, bahwa sukacita dan dukacita itu
akan senantiasa ada menemani hari-hari kita. Tidak akan pernah ada seorang pun
di dunia ini, yang akan hanya menjalani dukacita melulu. Begitu pun sebaliknya,
tidak akan pernah ada seorang pun yang akan mengalami sukacita melulu. Dua
fakta kehidupan ini, akan senantiasa silih berganti datang dalam hidup kita,
agar kita senantiasa disadarkan, bahwa hidup ini ada dalam pengetahuan dan
kemahakuasaan Tuhan, dan karena itulah, hanya kepada Dia sajalah kita percaya
dan mempercayakan diri, bukan kepada kekuatan dan kemampuan diri kita.
3.
Tuhan
tahu kapan Dia memberi kita sukacita, dan Dia pun tahu, kapan memberi kita
dukacita. Semua ini Allah lakukan, semata-mata untuk membentuk dan memperkokoh
iman percaya kita kepada-Nya. Dengan demikian, kepada keluarga dan setiap kita
yang hadir saat ini, mari melihat kematian orang yang kita kasihi ini, sebagai
bagian dari proses pematangan iman kepada Tuhan.
4.
Sesuatu
yang sangat manusiawi, jika kita menangis dan sepertinya sangat susah untuk
menerima kematian orang yang kita kasihi ini. Silahkan kita menangis, silahkan
kita meneteskan air mata, silahkan kita merasa ditinggalkan oleh Allah. Namun
satu yang pasti, Allah tidak pernah meninggalkan kita. Mari lihat, di
sekeliling kita sekarang ini, ada begitu banyak orang yang Allah pakai, untuk
menunjukkan kepada keluarga bahwa Dia senantiasa bersama-sama dengan kita.
Jangan kita menganggap kehadiran kita sekarang ini, sebagai sebuah kehadiran
yang kebetulan saja. Kita tidak hadir saat ini, hanya karena secara kebetulan
kita mengenal almarhum/almarhumah. Tetapi kehadiran kita saat ini, merupakan
salah satu bukti tanda cinta kasih Allah kepada keluarga, bahwa dalam kesakitan
dan kesusahan yang dialami, Allah berkenan memakai sesama kita, untuk menghibur
kita. Karena itu, mari jadikan kehadiran dan kedatangan kita saat ini, untuk
menguatkan, menopang dan menghibur keluarga. Mari jadikan kehadiran kita,
sebagai kehadiran yang memberi kelegaan bagi keluarga, karena itulah maksud
Allah menghadirkan kita kali ini.
5. Jangan pernah kita merasa bahwa
Tuhan telah jauh dari kita. Jangan pernah merasa bahwa Tuhan sudah meninggalkan
kita, lalu kita berteriak, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
Aku?” Dan pada saat yang sama, Allah
kemudian menjawab kita dengan mengatakan, “Hai anak-Ku, Aku sedikit pun tidak
pernah meninggalkan engkau. Justru sebaliknya, engkau sendirilah yang sering meninggalkan Aku sebagai Tuhan dan Penyelamat
hidupmu”. Semoga, melalui perenungan kita saat ini, Roh Kudus memampukan
kita semua, untuk menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, dan
kitalah yang justru sering meninggalkan Allah, dengan cara hidup yang jauh dari
kehendak-Nya. Namun satu yang pasti, meski kita sering meninggalkan Allah, Dia
akan tetap setia menunggu sampai kita sadar dan kembali kepada-Nya. AMIN. (TS)
No comments:
Post a Comment