Thursday, June 4, 2015

ALLAH TIDAK PERNAH MENINGGALKAN KITA



ALLAH TIDAK PERNAH MENINGGALKAN KITA
Bacaan : Mazmur 22 :2-3



Siapapun kita yang hadir di sini saat ini, pasti memiliki berbagai pertanyaan dalam hati terkait dengan peristiwa kematian yang dialami oleh almarhum/almarhumah yang kita kasihi. Salah satu pertanyaan yang mungkin ada dalam benak kita masing-masing adalah, mengapa kematian itu harus terjadi! Mengapa kematian itu harus menimpa kehidupan manusia! Mengapa Tuhan tidak membiarkan kita tetap hidup saja untuk selama-lamanya! Terlebih, ketika kematian yang dialami oleh orangtua, atau saudara almarhum/almarhumah, merupakan kematian yang “tidak wajar” dalam pandangan kita. Maka fenomena kematian ini, akan membuat kita semakin bertanya-tanya dalam hidup ini, dengan selalu mengatakan, mengapa! mengapa! dan mengapa! Mengapa dia harus mati? Mengapa dia harus begitu cepat pergi? Mengapa dia mati dengan cara yang demikian? Mengapa Tuhan tidak menolongnya? Apa salah dan dosa kami, sehingga Tuhan memberi ujian yang tidak mampu kami jalani? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain, yang muncul dalam hati dan pikiran kita, terkait dengan peristiwa kematian yang kita saksikan ini.
Pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan itu, merupakan serangkaian pertanyaan, yang menggambarkan kekecewaan hati setiap kita, dan sepertinya sulit untuk menerima kenyataan itu. Kita merasa, Tuhan sudah jauh dan tidak peduli kepada kita. Kita merasa bahwa, kita tidak patut untuk menerima pencobaan ini. Kita merasa, bahwa Tuhan sangat tidak adil dengan diri kita. Kita sudah berkali-kali mengalami pencobaan, tapi kini Tuhan memberikan lagi pencobaan yang semakin berat. Kita merasa, kita sudah jatuh, toh tertimpa tangga lagi. Lalu, jika situasinya sudah sedemikaian beratnya, maka apakah lagi yang bisa dilakukan?
saudara-saudara yang sama dikasihi Tuhan,
Jeritan kesakitan seperti ini, bukanlah untuk yang pertama kalinya kita dengarkan, saksikan atau bahkan mungkin kita ungkapkan sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir setiap saat kita selalu saja mengeluh dan menjerit dengan berbagai-bagai persoalan yang sementara menimpa kita. Mengeluh dan mengungkapkan ketidakberdayaan di hadapan Tuhan itu, adalah hal yang sangat wajar, karena hanya Dialah satu-satunya pendengar dan penghibur yang selalu setia, yang akan memberi kelegaan bagi setiap orang  yang benar-benar datang dan berserah hanya kepada-Nya. Namun, menjadi sebuah catatan menarik untuk selalu kita renungkan secara bersama-sama adalah, masalah mengeluh dan bertanya-tanya kepada Tuhan, bukanlah masalah yang baru ada dan hadir kemarin  di tengah-tengah kita. Persoalan menjerit di hadapan Tuhan, bukanlah kita dan manusia-manusia sekarang yang memulai dan melakukannya. Namun persoalan mengeluh di hadapan Tuhan itu, sudah ada sejak dulu, bahkan sejak manusia jatuh ke dalam dosa, hampir selalu manusia mengeluh dan mengeluh di hadapan Tuhan. (Sebutkan contohnya dari cerita, Kain, Abraham, Yakub, Musa dan beberapa tokoh lainnya). Keluhan-keluhan yang mereka sampaikan itu, selalu terkait dengan pergumulan hidup yang begitu berat, dan seolah-olah tidak mampu lagi untuk dipikul.
Yang menarik dari setiap keluhan-keluhan itu, hampir semuanya selalu merasa diri berada pada posisi yang benar, sehingga tidak layak untuk melalui pergumulan berat, dan seolah-olah mereka menyalahkan Tuhan dengan kondisi yang dialami. Situasi seperti ini jugalah yang dialami dan dikeluhkan oleh Daud dalam pembacaan kita tadi. Dalam ayat 2 bacaan kita tadi, Daud berseru dengan mengatakan: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku”. Dengan sangat jelas, kita bisa membayangkan keberadaan dan keadaan Daud yang sementara dalam sebuah pergumulan serta beban yang sangat berat. Daud sepertinya sudah hampir-hampir menyerah dengan kondisi yang sedang dialaminya. Dia capek, dia lelah, dia letih dan tidak tahu lagi mau berbuat apa. Dia sudah berdoa, dia sudah berseru, dia sudah menyampaikan keluhan-keluhannya kepada Tuhan, namun sampai saat ini, Daud tidak melihat adanya tanda-tanda bahwa Tuhan akan segera datang untuk menolong dan membebaskan Daud dari beban berat yang dialaminya.
Saudara saudara yang dikasihi Tuhan,
Mazmur 22 yang kita baca kali ini, merupakan sebuah ungkapan hati Daud, ketika dia berada dalam pengejaran yang tak habis-habisnya dari Saul, yang berencana untuk membunuhnya (1 Samuel 19:1-24). Dalam pengejaran dari Saul itu, Daud selalu bertanya-tanya, apakah ada sebuah kesalahan yang dia telah lakukan, yang membuatnya terus menerus berada dalam pengejaran Saul sebagai “buronan”? Daud merasa tidak punya kesalahan, yang membuat Saul harus membenci dirinya sampai harus membunuhnya! Terlebih Jika kita kembali membaca bagaimana Saul selalu berencana untuk membunuh Daud, maka kita bisa menyaksikan, bagaimana rasa ketakutan dan kekuatiran itu senantiasa “merongrong” kehidupan Daud. Setiap saat Daud harus selalu melarikan diri dari suatu daerah ke daerah lain hanya untuk menghindari usaha Saul membunuhnya. Terkadang Daud belum mendapat ketenangan karena baru tiba di sebuah tempat yang baru, dia harus segera melarikan diri untuk mencari tempat yang baru untuk melarikan diri, dan itu terjadi sampai beberapa kali dalam pelariannya. Hingga akhirnya, Daud merasa lelah dan tidak kuat lagi untuk terus menerus melarikan diri, dia pun mengungkapkan kalimat yang tadi kita telah baca dan dengarkan bersama. Bagi Daud yang selalu berusaha lari dari kejaran Saul, dia sudah jenuh dengan apa yang dialaminya. Dia sudah tidak dapat lagi berbuat apa-apa, sampai dia pun merasa dirinya ditinggalkan oleh Allah! Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku, merupakan sebuah rintihan kesakitan dan kesedihan yang sangat dalam. Daud menangis karena sepertinya Allah tidak lagi peduli pada dirinya. Dia merasa Allah diam saja dengan segala beban dan penderitaan yang dijalaninya. Dia sudah merasa bahwa Allah telah pergi meninggalkan dia! Karena itulah Daud mengatakan, aku berseru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang!
Di manakah Engkau ya Allah? Mengapa aku dibiarkan terperosok jauh ke dalam lubang yang sangat dalam, dan Engkau tidak mau melepaskan aku! Kira-kira, seperti inilah jeritan dan keluhan Daud kepada Tuhan, yang sepertinya sudah meninggalkan dirinya dalam kesusahannya sendiri. Namun jika kita perhatikan bacaan kita secara keseluruhan, pada akhirnya, Daud kemudian sadar bahwa ternyata Allah tidaklah pernah meninggalkan dirinya, dan pertolongan Tuhan itu senantiasa datang pada saat yang tepat. Ayat 22 dari perikop ini, memberi kita kesaksian bahwa, Tuhan senantiasa setia berada di sekitar kita, dan senantiasa mendengarkan setiap keluhan dan jeritan-jeritan kita. Ayat 22 berbunyi, “Selamatkanlah aku dari mulut singa, dan dari tanduk banteng. Engkau telah menjawab aku!. Ya, inilah puncak dari semua keluhan Daud kepada Tuhan. Ternyata, Allah menjawabnya dengan memberi pertolongan dan jawaban yang tidak diduga sebelumnya. Daud kemudian menyadari bahwa, setiap hal yang dia ungkapkan itu, entah berupa tangisan, atau pun keluhan, Tuhan selalu memberi diri untuk mendengarkan itu. Daud kemudian menyadari bahwa, sekecil apa pun keluhan yang dia katakan, Tuhan selalu ada mendengarnya. Karena itulah, Daud mengungkapkan kesaksiannya itu dalam ayat 25b dengan mengatakan “Ia mendengar ketika orang berteriak minta tolong kepada-Nya.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan,
Apa pesan yang ingin Tuhan sampaikan, kepada keluarga dan kepada kita semua yang hadir melalui perenungan firman Tuhan kali ini? Ada banyak hal yang bisa kita peroleh dari bacaan kita tadi, namun paling tidak kita bisa mengetahui dan memahami bahwa:
1.        Setiap  kita yang hadir kali ini, semuanya memiliki berbagai macam persoalan hidup yang selalu setia menemani kita. Tidak ada satu pun yang hadir saat ini, yang tidak memiliki persoalan atau masalah dalam hidupnya. Justru jika ada orang yang mengatakan, bahwa dia tidak memiliki persoalan atau masalah, maka itulah masalah terbesarnya. Karena setiap kita memiliki persoalan hidup yang berbeda-beda, maka dalam menghadapi persoalan-persoalan itu pun, kita punya cara dan pola yang berbeda untuk menyelesaikannya. Ada yang bisa mengatasi persoalan atau masalah yang dihadapinya, dengan cara menceriterakannya kepada orang lain. Karena itu, bagi kita semua yang sementara bersusah, karena kematian orang yang kita kasihi ini, mari ceritakan dan ungkapkan kesusahan kita itu kepada orang lain. Karena dengan berbagi dengan orang lain, kita akan menemukan, bagaimana Allah menyatakan penghiburannya, lewat kehadiran orang lain. Jangan kita diam saja dan menyimpannya, yang pada akhirnya akan semakin memberatkan beban hidup kita. Karena itu jugalah, Tuhan berpesan agar kita bersedia untuk menjadi pendengar yang setia untuk saudara-saudara kita yang sementara bersusah karena duka yang dialami, jangan justru kita meninggalkan mereka. Allah berkenan untuk memakai kita menjadi alat-Nya untuk menyatakan penghiburan-Nya.
2.       Ketika kita berada dalam sebuah pergumulan yang sangat berat dan menyakitkan, terkadang kita lupa diri  dan menjadi orang-orang yang sudah putus harapan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sakit, beban hidup yang berat, terkadang membuat kita merasa bahwa Tuhan itu sudah jauh dan meninggalkan kita. Karena itulah, kita pun sepertinya seringkali “mengkambing hitamkan Tuhan” untuk beban yang kita alami. Kita merasa bahwa bahwa Tuhan terlalu “kejam”, memberi kita beban yang tidak mampu untuk kita pikul. Kita merasa Tuhan tidak adil dengan jalan hidup yang Dia berikan kepada kita. Padahal, ketika kita lagi hidup tenang dan sukses, kita merasa bahwa kitalah orang yang paling disayangi dan diberkati Tuhan, dengan segala yang ada pada kita. Kita kadang hanya melihat Tuhan, dengan sebelah mata kita. Kita mengatakan Dia baik jika kita menjalani hari-hari yang baik, dan mengatakan Dia tidak baik, jika kita lagi mengalami kesusahan. Kita kadang hanya mau menerima hal-hal yang baik dari Tuhan, dan menolak setiap pengujian iman yang Tuhan nyatakan, melalui pergumulan-pergumulan hidup yang dijalani. Tuhan tidak pernah mengatakan bahwa hidup ini akan selalu baik-baik saja. Namun yang Tuhan katakan, Dia akan selalu menemani kita. Jelas, bahwa sukacita dan dukacita itu akan senantiasa ada menemani hari-hari kita. Tidak akan pernah ada seorang pun di dunia ini, yang akan hanya menjalani dukacita melulu. Begitu pun sebaliknya, tidak akan pernah ada seorang pun yang akan mengalami sukacita melulu. Dua fakta kehidupan ini, akan senantiasa silih berganti datang dalam hidup kita, agar kita senantiasa disadarkan, bahwa hidup ini ada dalam pengetahuan dan kemahakuasaan Tuhan, dan karena itulah, hanya kepada Dia sajalah kita percaya dan mempercayakan diri, bukan kepada kekuatan dan kemampuan diri kita.
3.       Tuhan tahu kapan Dia memberi kita sukacita, dan Dia pun tahu, kapan memberi kita dukacita. Semua ini Allah lakukan, semata-mata untuk membentuk dan memperkokoh iman percaya kita kepada-Nya. Dengan demikian, kepada keluarga dan setiap kita yang hadir saat ini, mari melihat kematian orang yang kita kasihi ini, sebagai bagian dari proses pematangan iman kepada Tuhan.
4.      Sesuatu yang sangat manusiawi, jika kita menangis dan sepertinya sangat susah untuk menerima kematian orang yang kita kasihi ini. Silahkan kita menangis, silahkan kita meneteskan air mata, silahkan kita merasa ditinggalkan oleh Allah. Namun satu yang pasti, Allah tidak pernah meninggalkan kita. Mari lihat, di sekeliling kita sekarang ini, ada begitu banyak orang yang Allah pakai, untuk menunjukkan kepada keluarga bahwa Dia senantiasa bersama-sama dengan kita. Jangan kita menganggap kehadiran kita sekarang ini, sebagai sebuah kehadiran yang kebetulan saja. Kita tidak hadir saat ini, hanya karena secara kebetulan kita mengenal almarhum/almarhumah. Tetapi kehadiran kita saat ini, merupakan salah satu bukti tanda cinta kasih Allah kepada keluarga, bahwa dalam kesakitan dan kesusahan yang dialami, Allah berkenan memakai sesama kita, untuk menghibur kita. Karena itu, mari jadikan kehadiran dan kedatangan kita saat ini, untuk menguatkan, menopang dan menghibur keluarga. Mari jadikan kehadiran kita, sebagai kehadiran yang memberi kelegaan bagi keluarga, karena itulah maksud Allah menghadirkan kita kali ini.
5.       Jangan pernah kita merasa bahwa Tuhan telah jauh dari kita. Jangan pernah merasa bahwa Tuhan sudah meninggalkan kita, lalu kita berteriak, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”  Dan pada saat yang sama, Allah kemudian menjawab kita dengan mengatakan, “Hai anak-Ku, Aku sedikit pun tidak pernah meninggalkan engkau. Justru sebaliknya, engkau sendirilah yang sering meninggalkan Aku sebagai Tuhan dan Penyelamat hidupmu”. Semoga, melalui perenungan kita saat ini, Roh Kudus memampukan kita semua, untuk menyadari bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, dan kitalah yang justru sering meninggalkan Allah, dengan cara hidup yang jauh dari kehendak-Nya. Namun satu yang pasti, meski kita sering meninggalkan Allah, Dia akan tetap setia menunggu sampai kita sadar dan kembali kepada-Nya. AMIN. (TS)

No comments:

Post a Comment