“JANGAN
KUATIR AKAN DITERLANTARKAN…!”
(
Mazmur 22 : 1 – 12 )
Menyandang predikat
sebagai makhluk yang paling mulia di antara ciptaan Allah yang lainnya merupakan
sebuah status yang patut kita syukuri dan maknai dalam kehidupan kita. Mengapa?
Karena melalui status tersebut kita diberikan keistimewaan oleh Allah berupa
akal dan pikiran untuk bisa merencanakan dan menata hidup dan masa depan kita
dengan baik dan benar. Dengan akal itu, kita bisa merespon dengan benar setiap
gejala dan realita yang muncul dalam setiap langkah kehidupan kita sesuai
dengan kehendak Sang Pencipta.
Namun di balik status
dan keistimewaan tersebut, kitapun perlu memahami bahwa sebagai manusia kita
tetaplah tidak sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Oleh karena
itu, hidup dalam ketergantungan kepada Allah adalah sebuah syarat mutlak bagi
kita. Tetapi banyak hal yang sering membuat kita terkadang merasa jauh dari
Allah. Terkadang kita merasa ditinggalkan oleh Allah, karena kita belum mampu
menangkap dengan benar setiap kehendak dan rencana Allah yang sementara
berlangsung dalam setiap kenyataan hidup yang kita alami.
Pembacaan kita pada
saat ini adalah sebuah pengalaman nyata atau kisah hidup yang pernah dialami
oleh pemazmur. Menjalani kesempatan hidup dalam berbagai tanggungjawab yang
diberikan oleh Allah kepadanya, pemazmur sering menemukan kenyatan bahwa
ternyata hidup ini penuh dengan berbagai tantangan dan rintangan. Hari-harinya
sering diwarnai dengan berbagai tekanan dan siksaan batin.
Memang,
pemazmur sadar, dan ia tahu bahwa hidupnya ada dalam kekuasaan Allah. Sehingga
di dalam menghadapi situasi hidup yang demikian berat, ia harus selalu datang
kepada Allah memohon pertolongan. Namun terkadang, ketika ia datang membawa
pergumulannya kepada Allah, ia merasa persoalan hidupnya sering tidak terjawab,
sehingga dirinya kerapkali dilanda kecewa. Ia sempat merasa seolah telah
ditinggalkan oleh Allah. Ia merasa tidak lagi dipedulikan oleh Allah, Bahkan
seruan minta tolong yang dipanjatkannya siang dan malam, tidak juga didengarkan
oleh Allah. Ia mulai ragu, hatinya mulai tidak tenang (ay.2-3). Apalagi ketika
ia sudah mulai membanding-bandingkan
kehidupan dirinya dengan kenyatan yang pernah dialami oleh nenek moyangnya
beberapa waktu yang lalu. Ia tahu bahwa Allah memperhatikan keberadaan nenek
moyangnya, tetapi kenapa dirinya tidak?
Beban pergumulan pemazmur pun kian
bertambah ketika ia mendapat cibiran dan olok-olokan dari orang-orang yang
tidak mengenal Tuhan (ay.7-9). Namun tidak lama kemudian, ditengah keraguan
hidup yang mulai pelan-pelan menghampirinya, pemazmur pun mulai tersadar dengan
kekeliruannya. Lalu ia kembali percaya bahwa melalui kenyataan tersebut
sebenarnya Allah sementara menguji dan membentuk dirinya agar bisa menjadi
pribadi yang sungguh-sunguh percaya dan tergantung hanya kepada-Nya dalam
situasi apapun. Sehingga cibiran dan cemohan orang lain tidak menyurutkan iman
dan pengharapannya, melainkan justru berbalik menjadi cambuk bagi dirinya untuk
selalu mengandalkan Allah. Ia percaya bahwa Allahlah yang telah memungkinkannya
terlahir ke dalam dunia ini. Allahlah yang telah memungkinkan dirinya betumbuh
dalam asuhan ibunya. Bahkan ia percaya bahwa Allah telah memilih dirinya sejak
ia masih dalam kandungan, sejak ia dilahirkan. Sehingga ia yakin bahwa Tuhan
tidak akan meniggalkannya. Tuhan tidak akan membiarkannya dalam kebinasaan (ay.
10-11). Oleh karena itu, ia meralat kembali penilaian awalnya (yang keliru)
kepada Allah lalu mengatakan, “Janganlah jauh daripadaku, sebab kesusahan telah
dekat, dan tidak ada yang menolong akau.”
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Meresponi kenyatan
hidup yang begitu berat yang sedang melanda pada saat ini, adakah kemampuan
yang bisa diandalkan pada diri kita untuk menghalaunya? Atau mengatasi kenyatan
duka atas kepergian orang yang kita kasihi sekarang ini, kepada siapakah kita
harus mengadu? Mungkin pikiran kita bingung, dan hati kitapun dilanda keraguan,
lalu mulai bertanya, masih adakah pertolongan yang bisa kita andalkan? Atau di manakah
Allah di saat-saat kita begitu tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan-Nya?
Mungkin kita kecewa
karena merasa yakin, telah begitu percaya kepada Allah selama ini, namun
perhatian dan kepedulian-Nya tidak kunjung datang. Bahkan mungkin, selama
menjalani sisa-sisa hidup dan detik-detik kepergian dari orang yang kita kasihi
(kalau misalnya sakit dll), kita tiada henti-hentinya berdoa kepada Allah
memohon pertolongan-Nya. Meminta kiranya beliau masih diberikan umur yang
panjang atau kesembuhan oleh-Nya. Tetapi kenyatannya justru terbalik. Bukan
umur panjang atau kesembuhan yang terjadi, tetapi justru kematian yang datang!
Menghadapi
situasi demikian, marilah kita belajar bersikap seperti pemazmur untuk selalu
percaya dan bergantung sepenuhnya kepada Allah saja, apapun situasi hidup yang
kita alami. Pun dalam menghadapi kenyatan duka karena harus berpisah dengan
orang yang kita kasihi karena peristiwa kematian. Secara manusiawi, boleh saja
kita bertanya tentang wujud kesetiaan Tuhan. Tentang kuasa dan pertolongan
Tuhan yang seolah telah jauh dari kita. Tapi jangan sampai kita meragukan
tentang kasih, kesetiaan dan kuasa-Nya. Sebab sebenarnya, banyak kebaikan yang
sementara Dia kerjakan untuk kita, tetapi kita belum bisa melihatnya dengan
mata kepala kita, atau memahaminya
dengan akal kita. Sebab semua persoalan hidup yang kita alami, hanya
bisa kita pahami dan rasakan kalau dijalani dalam hubungan iman kita kepada
Allah.
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Yesus Kristus pun
pernah mengalami langsung pengalaman yang sama.
Yesus pernah mengalami
penderitaan yang tiada taranya. Tiada bandingannya. Bahkan puncaknya, Dia harus
menghadapi kematian. Mengetahui akan kenyataan yang akan dilaluinya. Menyadari
bahwa bayang-bayang kematian kian dekat menghampiri-Nya, Yesus pun bergumul dan
berharap sekiranya bisa diluputkan dari penderitaan tersebut. Ia berdoa memohon
kiranya penderitaan dan kematian itu bisa lalu dari pada-Nya. Namun di balik
permohonan-Nya tersebut, Diapun percaya dan sadar sepenuhnya bahwa sebenarnya tidak
ada rencana Allah yang buruk. Namun penilaian kitalah yang sering memahaminya
sebagai hal yang buruk. Sehingga dengan segala keyakinan, Diapun menyatakan,
bahwa bukan kehendak diri-Nya yang terjadi tetapi kehendak Bapalah yang
terjadi. Sebagai anak, Dia hanya bisa bermohon. Tetapi Bapalah yang memutuskan
mana yang terbaik bagi anak-Nya.
Yesus telah mati, namun bukan berarti doanya
tidak didengarkan oleh Bapa. Atau diri-Nya ditinggalkan oleh Allah. Tebukti,
Dia bangkit kembali mengalahkan maut. Itulah bukti keagungan kasih Allah.
Itulah bukti bagi kita bahwa Allah tidak akan pernah menelantarkan umat
pilihan-Nya. Bukankah Allah telah memilih kita sejak masih dalam kandungan? Dia
jugalah yang kita yakini telah memilih
dari antara kita; orang yang kita kasihi untuk harus menjalani fakta kematian.
Sebab kematiannya juga akan berlanjut pada kebangkitan menuju kehidupan yang
kekal.
Jangan ragu dan bimbang. Jangan
kuatir akan diterlantarkan! Sebab Allah yang kita sembah adalah Allah yang
setia. Dia tidak akan pernah meninggalkan atau menelantarkan umat-Nya yang percaya.
Di alam maut sekalipun. Roh Kuduslah yang mampu menghiburkan dan menguatkan
saudara dan saya. Haleluyah!
Amin…!
No comments:
Post a Comment