Thursday, June 4, 2015

“JANGAN KUATIR AKAN DITERLANTARKAN…!”



“JANGAN KUATIR AKAN DITERLANTARKAN…!”
( Mazmur 22 : 1 – 12 )

                Menyandang predikat sebagai makhluk yang paling mulia di antara ciptaan Allah yang lainnya merupakan sebuah status yang patut kita syukuri dan maknai dalam kehidupan kita. Mengapa? Karena melalui status tersebut kita diberikan keistimewaan oleh Allah berupa akal dan pikiran untuk bisa merencanakan dan menata hidup dan masa depan kita dengan baik dan benar. Dengan akal itu, kita bisa merespon dengan benar setiap gejala dan realita yang muncul dalam setiap langkah kehidupan kita sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.
Namun di balik status dan keistimewaan tersebut, kitapun perlu memahami bahwa sebagai manusia kita tetaplah tidak sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Allah. Oleh karena itu, hidup dalam ketergantungan kepada Allah adalah sebuah syarat mutlak bagi kita. Tetapi banyak hal yang sering membuat kita terkadang merasa jauh dari Allah. Terkadang kita merasa ditinggalkan oleh Allah, karena kita belum mampu menangkap dengan benar setiap kehendak dan rencana Allah yang sementara berlangsung dalam setiap kenyataan hidup yang kita alami.
                Pembacaan kita pada saat ini adalah sebuah pengalaman nyata atau kisah hidup yang pernah dialami oleh pemazmur. Menjalani kesempatan hidup dalam berbagai tanggungjawab yang diberikan oleh Allah kepadanya, pemazmur sering menemukan kenyatan bahwa ternyata hidup ini penuh dengan berbagai tantangan dan rintangan. Hari-harinya sering diwarnai dengan berbagai tekanan dan siksaan batin.
Memang, pemazmur sadar, dan ia tahu bahwa hidupnya ada dalam kekuasaan Allah. Sehingga di dalam menghadapi situasi hidup yang demikian berat, ia harus selalu datang kepada Allah memohon pertolongan. Namun terkadang, ketika ia datang membawa pergumulannya kepada Allah, ia merasa persoalan hidupnya sering tidak terjawab, sehingga dirinya kerapkali dilanda kecewa. Ia sempat merasa seolah telah ditinggalkan oleh Allah. Ia merasa tidak lagi dipedulikan oleh Allah, Bahkan seruan minta tolong yang dipanjatkannya siang dan malam, tidak juga didengarkan oleh Allah. Ia mulai ragu, hatinya mulai tidak tenang (ay.2-3). Apalagi ketika ia sudah mulai  membanding-bandingkan kehidupan dirinya dengan kenyatan yang pernah dialami oleh nenek moyangnya beberapa waktu yang lalu. Ia tahu bahwa Allah memperhatikan keberadaan nenek moyangnya, tetapi kenapa dirinya tidak?
            Beban pergumulan pemazmur pun kian bertambah ketika ia mendapat cibiran dan olok-olokan dari orang-orang yang tidak mengenal Tuhan (ay.7-9). Namun tidak lama kemudian, ditengah keraguan hidup yang mulai pelan-pelan menghampirinya, pemazmur pun mulai tersadar dengan kekeliruannya. Lalu ia kembali percaya bahwa melalui kenyataan tersebut sebenarnya Allah sementara menguji dan membentuk dirinya agar bisa menjadi pribadi yang sungguh-sunguh percaya dan tergantung hanya kepada-Nya dalam situasi apapun. Sehingga cibiran dan cemohan orang lain tidak menyurutkan iman dan pengharapannya, melainkan justru berbalik menjadi cambuk bagi dirinya untuk selalu mengandalkan Allah. Ia percaya bahwa Allahlah yang telah memungkinkannya terlahir ke dalam dunia ini. Allahlah yang telah memungkinkan dirinya betumbuh dalam asuhan ibunya. Bahkan ia percaya bahwa Allah telah memilih dirinya sejak ia masih dalam kandungan, sejak ia dilahirkan. Sehingga ia yakin bahwa Tuhan tidak akan meniggalkannya. Tuhan tidak akan membiarkannya dalam kebinasaan (ay. 10-11). Oleh karena itu, ia meralat kembali penilaian awalnya (yang keliru) kepada Allah lalu mengatakan, “Janganlah jauh daripadaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong akau.”
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,  
                Meresponi kenyatan hidup yang begitu berat yang sedang melanda pada saat ini, adakah kemampuan yang bisa diandalkan pada diri kita untuk menghalaunya? Atau mengatasi kenyatan duka atas kepergian orang yang kita kasihi sekarang ini, kepada siapakah kita harus mengadu? Mungkin pikiran kita bingung, dan hati kitapun dilanda keraguan, lalu mulai bertanya, masih adakah pertolongan yang bisa kita andalkan? Atau di manakah Allah di saat-saat kita begitu tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan-Nya?
                Mungkin kita kecewa karena merasa yakin, telah begitu percaya kepada Allah selama ini, namun perhatian dan kepedulian-Nya tidak kunjung datang. Bahkan mungkin, selama menjalani sisa-sisa hidup dan detik-detik kepergian dari orang yang kita kasihi (kalau misalnya sakit dll), kita tiada henti-hentinya berdoa kepada Allah memohon pertolongan-Nya. Meminta kiranya beliau masih diberikan umur yang panjang atau kesembuhan oleh-Nya. Tetapi kenyatannya justru terbalik. Bukan umur panjang atau kesembuhan yang terjadi, tetapi justru kematian yang datang!
Menghadapi situasi demikian, marilah kita belajar bersikap seperti pemazmur untuk selalu percaya dan bergantung sepenuhnya kepada Allah saja, apapun situasi hidup yang kita alami. Pun dalam menghadapi kenyatan duka karena harus berpisah dengan orang yang kita kasihi karena peristiwa kematian. Secara manusiawi, boleh saja kita bertanya tentang wujud kesetiaan Tuhan. Tentang kuasa dan pertolongan Tuhan yang seolah telah jauh dari kita. Tapi jangan sampai kita meragukan tentang kasih, kesetiaan dan kuasa-Nya. Sebab sebenarnya, banyak kebaikan yang sementara Dia kerjakan untuk kita, tetapi kita belum bisa melihatnya dengan mata kepala kita, atau memahaminya  dengan akal kita. Sebab semua persoalan hidup yang kita alami, hanya bisa kita pahami dan rasakan kalau dijalani dalam hubungan iman kita kepada Allah.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Yesus Kristus pun pernah mengalami langsung pengalaman yang sama.       Yesus pernah mengalami penderitaan yang tiada taranya. Tiada bandingannya. Bahkan puncaknya, Dia harus menghadapi kematian. Mengetahui akan kenyataan yang akan dilaluinya. Menyadari bahwa bayang-bayang kematian kian dekat menghampiri-Nya, Yesus pun bergumul dan berharap sekiranya bisa diluputkan dari penderitaan tersebut. Ia berdoa memohon kiranya penderitaan dan kematian itu bisa lalu dari pada-Nya. Namun di balik permohonan-Nya tersebut, Diapun percaya dan sadar sepenuhnya bahwa sebenarnya tidak ada rencana Allah yang buruk. Namun penilaian kitalah yang sering memahaminya sebagai hal yang buruk. Sehingga dengan segala keyakinan, Diapun menyatakan, bahwa bukan kehendak diri-Nya yang terjadi tetapi kehendak Bapalah yang terjadi. Sebagai anak, Dia hanya bisa bermohon. Tetapi Bapalah yang memutuskan mana yang terbaik bagi anak-Nya.
                 Yesus telah mati, namun bukan berarti doanya tidak didengarkan oleh Bapa. Atau diri-Nya ditinggalkan oleh Allah. Tebukti, Dia bangkit kembali mengalahkan maut. Itulah bukti keagungan kasih Allah. Itulah bukti bagi kita bahwa Allah tidak akan pernah menelantarkan umat pilihan-Nya. Bukankah Allah telah memilih kita sejak masih dalam kandungan? Dia  jugalah yang kita yakini telah memilih dari antara kita; orang yang kita kasihi untuk harus menjalani fakta kematian. Sebab kematiannya juga akan berlanjut pada kebangkitan menuju kehidupan yang kekal.
            Jangan ragu dan bimbang. Jangan kuatir akan diterlantarkan! Sebab Allah yang kita sembah adalah Allah yang setia. Dia tidak akan pernah meninggalkan atau menelantarkan umat-Nya yang percaya. Di alam maut sekalipun. Roh Kuduslah yang mampu menghiburkan dan menguatkan saudara dan saya. Haleluyah!
Amin…!                                               

No comments:

Post a Comment