MENAPAKI JEJAK KEHIDUPAN DI BALIK
KEMATIAN
(
Roma 8 : 9 – 17 )
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Hidup
dan mati adalah merupakan dua dimensi dari keseluruhan fakta keberadaan umat
manusia, yang sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling terkait dan terkadang
saling menyifati. Bahkan kedua hal tersebut secara bergantian mewarnai kisah
perjalanan hidup seluruh umat manusia di atas muka bumi ini. Sudah menjadi
pengetahuan umum, bahwa setiap ada proses kehidupan, maka pada akhirnya akan
berujung pada kematian. Atau sebaliknya, jika ada peristiwa kematian maka
secata otomatis tentunya sebelumnya sudah diawali terlebih dahulu dengan adanya
kehidupan. Tidak pernah ada kejadian, tentang seseorang yang tiba-tiba
dinyatakan mati, padahal tidak pernah mengalami hidup sebelumnya.
Menyangkut
misteri di seputar kematian, sering ada yang memahaminya sebagai suatu
peristiwa puncak dan akhir dari keseluruhan kisah hidup setiap orang. Artinya,
kalau seseorang sudah masuk dalam fase
yang disebut kematian, maka berakhir pulalah kisah hidup dan seluruh
harapannya. Pandangan tersebut, sepintas lalu memang benar adanya; apabila
hanya diukur dan diteropong dari batas maksimal kemampuan (jangkauan akal dan
penglihatan secara kasat mata) yang dimiliki oleh manusia. Dalam banyak
syair-syair nyanyian tradisional daerah tertentu misalnya, gambaran tentang
adanya pemahaman tersebut masih bisa ditemukan. Misalnya, dalam syair-syair
nyanyian kedukaan orang toraja ( kadong badong- warisan agama suku Toraja; Aluk
Todolo). Disitu dikatakan, antara lain:
“Sesa ulli’ mora dikka’
(tiada lagi harapan baginya, selain jadi santapan ulat)
Tinde to marapo ongi’na
(Sebab hidup baginya, rapuh adanya)
Te to lollo’ karonge’na
( Dan harapan hidupnya, telah hancur/berakhir)
Dengan menyimak rangkaian
syair-syair dari nyanyian tersebut, jelas tersirat ada kesan bahwa para pemeluk
agama suku di Toraja (aluk todolo) pada waktu itu, cenderung bernada pesimis
dalam melihat adanya harapan di balik peristiwa kematian. Artinya, kalau sudah
mati, ya tetap mati untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi janji dan harapan
tentang kehidupan. Kecuali (masih menurut paham ‘aluk todolo’), apabila kaum
keluarga dari ‘si mati’ berusaha atau mampu memenuhi segala ketentuan tentang
ritus-ritusnya (yaitu pemotongan sejumlah hewan sebagai tebusan, sesuai
ketentuan yang ada), maka ada kemungkinan untuk bisa menghantar si mati menuju
kehidupan lanjutan di “Puya” (nirwana). Namun syarat ini tergolong berat karena
tidak berlaku secara universal (umum), dan terkesan kurang adil. Dalam hal ini,
hanya orang-orang tertentu saja yang mampu dan layak untuk mengalaminya. Bahkan
lebih fatalnya lagi, nasib tentang lanjut-tidaknya kehidupan ‘si mati’ ke
‘puya’ justru harus ditentukan (ditanggung) oleh rumpun keluarganya yang masih
hidup dan bukan oleh perihidup dan keimanan dari ‘si mati itu sendiri semasa
hidupnya. Itulah sebabnya kematian tetap dirasakan sebagai beban yang sangat
berat dan merupakan duka yang amat dalam bagi keluarga yang ditinggalkan.
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Kalau
ditinjau dari sudut pandang iman kita selaku orang Kristen, bagaimanakah kita
memahami dan melihat persoalan tersebut? Atau bagaimanakah Alkitab berbicara
tentang hidup dan mati seseorang? Masih adakah sesuatu yang bisa kita harapkan
di balik kematian?
Alkitab
dengan jelas dan tegas menguraikan bahwa selain kehidupan yang sementara kita
jalani di dunia ini, ternyata masih ada kehidupan lanjutan di dunia lain. Hal
tersebut diyakini dapat terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa kematian.
Sehingga kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Firman Tuhan memberi
kesaksian bahwa ada sisi lain yang bersifat positif/menjanjikan dan bisa
menjadi harapan dalam menghadapi peristiwa kematian, yaitu kebangkitan kembali
menuju kehidupan yang kekal.
Banyak
bagian alkitab yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk memastikan tentang
harapan tersebut. Dalam kitab Roma 8 : 9 – 17 misalnya. Dalam bagian ini,
melalui suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus secara panjang lebar menguraikan
dengan jelas tentang adanya janji dari Allah mengenai kenyataan yang akan
dialami oleh orang percaya di balik peristiwa kematian. Sebagai orang yang
sudah hidup dan mati di dalam Yesus Kristus, baginya tidak akan ada lagi
penghukuman. Sebab Roh yang menghidupkan, telah memerdekakan setiap orang di
dalam Yesus kristus dari hukuman dosa dan maut. Janji itu mematahkan segala
kekuatiran dan keputus asaan yang ditimbulkan oleh perkara kematian. Ia
menegaskan bahwa, “…Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam roh, jika
memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh
Kristus, ia bukan milik Kristus. Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka
tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.
Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari dari antara orang mati, akan
menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu (ay.9-11).”
Dari uraian tersebut,
ada beberapa poin penting yang hendak ditekankan, antara lain:
1. Bahwa
setiap orang akan mengalami hal yang sama, yaitu proses kematian sebagai akibat
dari dosa, namun akan dibangkitkan kembali sebagaimana juga Kristus Yesus sudah
dibangkitkan dari antara orang mati.
2. Bahwa
walaupun janji dari Allah tentang kebangkitan kembali dari kematian bersifat
universal (ditujukan kepada seluruh umat manusia), namun tidak semua orang
berhak mengalami kehidupan yang kekal, sebab hanya orang yang berkenan
(beriman) kepada-Nya yang diselamatkan. Artinya, peristiwa kematian adalah
merupakan sesuatu hal yang bersifat ambivalen (memiliki dua sisi
kemungkinan). Di satu sisi, kematian
bisa dijadikan sebagai batu loncatan (jembatan) untuk menerima kebangkitan
menuju kepada kepastian hidup yang kekal. Namun di sisi yang lain, kematian (secara
rohani) justru bisa menjadi batu sandungan ( penghalang) dalam memperoleh
kebangkitan menuju kehidupan yang kekal. Kedua kemungkinan tersebut sangat
ditentukan oleh kualitas hidup dan keimanan setiap orang selama menjalani
hari-hari hidupnya, termasuk saat menjelang kematiannya. Setiap orang
bartanggungjawab atas pilihan dan sikap hidupnya di hadapan Allah, dan tidak
dibebankan kepada orang lain. Apa yang dia perbuat sebagai wujud keyakinannya
semasa hidupnya, maka itu jugalah yang menentukan kepastian status selanjutnya
atas kematiannya di hadapan Allah . Keputusan Allah bersifat adil, mutlak, dan
tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan oleh tebusan apapun dari manusia.
Saudara-saudara yang dikasihi
didalam Yesus Kristus,
Menjalani situasi hidup
yang begitu sulit saat ini, menghadapi beban hidup yang begitu berat, dan
menyelami rasa duka yang begitu dalam, masih adakah asa yang bisa kita raih di
tengah kemelut hidup yang mendera? Atau masih adakah harapan yang bisa
dinantikan atas duka yang timbul akibat kepergiaan dari orang yang kita kasihi?
Ataukah harapan itu justru sirna seiring hadirnya kematian?
Firman
Tuhan yang kita baca pada kesempatan ini menguak segala rahasia yang
tersembunyi di balik peristiwa kematian. Firman-Nya memberikan uraian yang
sangat jelas tentang makna terpenting di balik fakta kematian dan kebangkitan
Tuhan Yesus. Bahwa melalui peristiwa kebangkitan-Nya, kita bisa melihat
jejak-jejak kehidupan yang ditinggalkan-Nya di balik peristiwa kematian. Jejak itulah yang bisa
menjadi isyarat dan penuntun bagi semua orang untuk bisa melihat keabadian
hidup. Siapa yang bersedia mengikuti (meneladani), dan setia menapaki
jejak-jejak yang ditinggalkan-Nya, berarti ia hidup di dalam kehendak Allah.
Dan jika ia hidup di dalam kehendak Allah, maka Roh Allahpun berdiam di dalam
dirinya.Dan jika Roh Allah berdiam di dalam dirinya, maka dialah yang berhak
menjadi pewaris dari janji Allah, karena dia sudah disebut sebagai anak-anak
Allah. Artinya, dialah yang berhak menerima kehidupan yang kekal dari Allah
sekalipun sudah menempuh alam maut (kematian). Itulah janji-nya, dan itulah
pengharapan kita. Sebab Janji itu, sungguh-sungguh benar dan pasti adanya.
Oleh karena itu,
menghadapi kenyataan hidup atas kepergian orang yang kita kasihi, kita boleh
percaya bahwa kematian yang dialaminya bukanlah akhir dari segala-galanya. Dan
hidup yang telah dijalaninya bukanlah sesuatu yang menjadi sia-sia, sebab
kitapun tetap berharap bahwa semoga oleh imannya, dia telah melihat dan
berjalan menapaki jejak-jejak Yesus menuju
kehidupan yang kekal. Adapun kita yang ditinggalkannya, tentunya
dituntut juga untuk tetap bergantung hanya kepada Allah saja, karena di dalam
Dia pasti ada kekuatan dan penghiburan. Kita tidak perlu ragu untuk datang
kepada Allah, karena Dia sendiri telah menyebut kita sebagai anak-anak-Nya.
Biarlah status kita sebagai anak-anak Allah senantiasa tercermin dalam situasi
nyata sebagai orang yang sungguh-sungguh berpengharapan, termasuk dalam
menghadapi kenyataan duka saat ini. Sebab dengan demikian, kita bisa
dimungkinkan berada dalam suasana rohani yang akrab dengan Allah, sebagaimana
layaknya hubungan antara ‘Sang Bapak dengan anak’. Biarlah keakraban itu kita
nyatakan senantiasa melalui doa dan pengharapan, membaca firman Tuhan, dan
kesetiaan dalam bentuk-bentuk nyata lainnya
setiap saat.
Biarlah Roh Allah yang mampu
menghidupkan, senantiasa berdiam di dalam kita, dan kita pun selalu dihiburkan
serta dikuatkan oleh-Nya untuk menanti pengharapan sorgawi.
Amin…!
No comments:
Post a Comment