Thursday, June 4, 2015

MENAPAKI JEJAK KEHIDUPAN DI BALIK KEMATIAN



MENAPAKI JEJAK KEHIDUPAN DI BALIK KEMATIAN
                                                         ( Roma 8 : 9 – 17 )

Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
Hidup dan mati adalah merupakan dua dimensi dari keseluruhan fakta keberadaan umat manusia, yang sulit untuk dipisahkan. Keduanya saling terkait dan terkadang saling menyifati. Bahkan kedua hal tersebut secara bergantian mewarnai kisah perjalanan hidup seluruh umat manusia di atas muka bumi ini. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap ada proses kehidupan, maka pada akhirnya akan berujung pada kematian. Atau sebaliknya, jika ada peristiwa kematian maka secata otomatis tentunya sebelumnya sudah diawali terlebih dahulu dengan adanya kehidupan. Tidak pernah ada kejadian, tentang seseorang yang tiba-tiba dinyatakan mati, padahal tidak pernah mengalami hidup sebelumnya. 
Menyangkut misteri di seputar kematian, sering ada yang memahaminya sebagai suatu peristiwa puncak dan akhir dari keseluruhan kisah hidup setiap orang. Artinya, kalau seseorang sudah masuk dalam fase  yang disebut kematian, maka berakhir pulalah kisah hidup dan seluruh harapannya. Pandangan tersebut, sepintas lalu memang benar adanya; apabila hanya diukur dan diteropong dari batas maksimal kemampuan (jangkauan akal dan penglihatan secara kasat mata) yang dimiliki oleh manusia. Dalam banyak syair-syair nyanyian tradisional daerah tertentu misalnya, gambaran tentang adanya pemahaman tersebut masih bisa ditemukan. Misalnya, dalam syair-syair nyanyian kedukaan orang toraja ( kadong badong- warisan agama suku Toraja; Aluk Todolo). Disitu dikatakan, antara lain:
“Sesa ulli’ mora dikka’ (tiada lagi harapan baginya, selain jadi santapan ulat)
Tinde to marapo ongi’na (Sebab hidup baginya, rapuh adanya)
Te to lollo’ karonge’na ( Dan harapan hidupnya, telah hancur/berakhir)
            Dengan menyimak rangkaian syair-syair dari nyanyian tersebut, jelas tersirat ada kesan bahwa para pemeluk agama suku di Toraja (aluk todolo) pada waktu itu, cenderung bernada pesimis dalam melihat adanya harapan di balik peristiwa kematian. Artinya, kalau sudah mati, ya tetap mati untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi janji dan harapan tentang kehidupan. Kecuali (masih menurut paham ‘aluk todolo’), apabila kaum keluarga dari ‘si mati’ berusaha atau mampu memenuhi segala ketentuan tentang ritus-ritusnya (yaitu pemotongan sejumlah hewan sebagai tebusan, sesuai ketentuan yang ada), maka ada kemungkinan untuk bisa menghantar si mati menuju kehidupan lanjutan di “Puya” (nirwana). Namun syarat ini tergolong berat karena tidak berlaku secara universal (umum), dan terkesan kurang adil. Dalam hal ini, hanya orang-orang tertentu saja yang mampu dan layak untuk mengalaminya. Bahkan lebih fatalnya lagi, nasib tentang lanjut-tidaknya kehidupan ‘si mati’ ke ‘puya’ justru harus ditentukan (ditanggung) oleh rumpun keluarganya yang masih hidup dan bukan oleh perihidup dan keimanan dari ‘si mati itu sendiri semasa hidupnya. Itulah sebabnya kematian tetap dirasakan sebagai beban yang sangat berat dan merupakan duka yang amat dalam bagi keluarga yang ditinggalkan.
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Kalau ditinjau dari sudut pandang iman kita selaku orang Kristen, bagaimanakah kita memahami dan melihat persoalan tersebut? Atau bagaimanakah Alkitab berbicara tentang hidup dan mati seseorang? Masih adakah sesuatu yang bisa kita harapkan di balik kematian?
Alkitab dengan jelas dan tegas menguraikan bahwa selain kehidupan yang sementara kita jalani di dunia ini, ternyata masih ada kehidupan lanjutan di dunia lain. Hal tersebut diyakini dapat terjadi setelah seseorang mengalami peristiwa kematian. Sehingga kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Firman Tuhan memberi kesaksian bahwa ada sisi lain yang bersifat positif/menjanjikan dan bisa menjadi harapan dalam menghadapi peristiwa kematian, yaitu kebangkitan kembali menuju kehidupan yang kekal.
            Banyak bagian alkitab yang bisa dijadikan sebagai rujukan untuk memastikan tentang harapan tersebut. Dalam kitab Roma 8 : 9 – 17 misalnya. Dalam bagian ini, melalui suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus secara panjang lebar menguraikan dengan jelas tentang adanya janji dari Allah mengenai kenyataan yang akan dialami oleh orang percaya di balik peristiwa kematian. Sebagai orang yang sudah hidup dan mati di dalam Yesus Kristus, baginya tidak akan ada lagi penghukuman. Sebab Roh yang menghidupkan, telah memerdekakan setiap orang di dalam Yesus kristus dari hukuman dosa dan maut. Janji itu mematahkan segala kekuatiran dan keputus asaan yang ditimbulkan oleh perkara kematian. Ia menegaskan bahwa, “…Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus. Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran. Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu (ay.9-11).”
                Dari uraian tersebut, ada beberapa poin penting yang hendak ditekankan, antara lain:
1.      Bahwa setiap orang akan mengalami hal yang sama, yaitu proses kematian sebagai akibat dari dosa, namun akan dibangkitkan kembali sebagaimana juga Kristus Yesus sudah dibangkitkan dari antara orang mati.
2.      Bahwa walaupun janji dari Allah tentang kebangkitan kembali dari kematian bersifat universal (ditujukan kepada seluruh umat manusia), namun tidak semua orang berhak mengalami kehidupan yang kekal, sebab hanya orang yang berkenan (beriman) kepada-Nya yang diselamatkan. Artinya, peristiwa kematian adalah merupakan sesuatu hal yang bersifat ambivalen (memiliki dua sisi kemungkinan).  Di satu sisi, kematian bisa dijadikan sebagai batu loncatan (jembatan) untuk menerima kebangkitan menuju kepada kepastian hidup yang kekal. Namun di sisi yang lain, kematian (secara rohani) justru bisa menjadi batu sandungan ( penghalang) dalam memperoleh kebangkitan menuju kehidupan yang kekal. Kedua kemungkinan tersebut sangat ditentukan oleh kualitas hidup dan keimanan setiap orang selama menjalani hari-hari hidupnya, termasuk saat menjelang kematiannya. Setiap orang bartanggungjawab atas pilihan dan sikap hidupnya di hadapan Allah, dan tidak dibebankan kepada orang lain. Apa yang dia perbuat sebagai wujud keyakinannya semasa hidupnya, maka itu jugalah yang menentukan kepastian status selanjutnya atas kematiannya di hadapan Allah . Keputusan Allah bersifat adil, mutlak, dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun dan oleh tebusan apapun dari manusia.
Saudara-saudara yang dikasihi didalam Yesus Kristus,
                Menjalani situasi hidup yang begitu sulit saat ini, menghadapi beban hidup yang begitu berat, dan menyelami rasa duka yang begitu dalam, masih adakah asa yang bisa kita raih di tengah kemelut hidup yang mendera? Atau masih adakah harapan yang bisa dinantikan atas duka yang timbul akibat kepergiaan dari orang yang kita kasihi? Ataukah harapan itu justru sirna seiring hadirnya kematian? 
Firman Tuhan yang kita baca pada kesempatan ini menguak segala rahasia yang tersembunyi di balik peristiwa kematian. Firman-Nya memberikan uraian yang sangat jelas tentang makna terpenting di balik fakta kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus. Bahwa melalui peristiwa kebangkitan-Nya, kita bisa melihat jejak-jejak kehidupan yang ditinggalkan-Nya di balik  peristiwa kematian. Jejak itulah yang bisa menjadi isyarat dan penuntun bagi semua orang untuk bisa melihat keabadian hidup. Siapa yang bersedia mengikuti (meneladani), dan setia menapaki jejak-jejak yang ditinggalkan-Nya, berarti ia hidup di dalam kehendak Allah. Dan jika ia hidup di dalam kehendak Allah, maka Roh Allahpun berdiam di dalam dirinya.Dan jika Roh Allah berdiam di dalam dirinya, maka dialah yang berhak menjadi pewaris dari janji Allah, karena dia sudah disebut sebagai anak-anak Allah. Artinya, dialah yang berhak menerima kehidupan yang kekal dari Allah sekalipun sudah menempuh alam maut (kematian). Itulah janji-nya, dan itulah pengharapan kita. Sebab Janji itu, sungguh-sungguh benar dan pasti adanya. 
                Oleh karena itu, menghadapi kenyataan hidup atas kepergian orang yang kita kasihi, kita boleh percaya bahwa kematian yang dialaminya bukanlah akhir dari segala-galanya. Dan hidup yang telah dijalaninya bukanlah sesuatu yang menjadi sia-sia, sebab kitapun tetap berharap bahwa semoga oleh imannya, dia telah melihat dan berjalan menapaki jejak-jejak Yesus menuju  kehidupan yang kekal. Adapun kita yang ditinggalkannya, tentunya dituntut juga untuk tetap bergantung hanya kepada Allah saja, karena di dalam Dia pasti ada kekuatan dan penghiburan. Kita tidak perlu ragu untuk datang kepada Allah, karena Dia sendiri telah menyebut kita sebagai anak-anak-Nya. Biarlah status kita sebagai anak-anak Allah senantiasa tercermin dalam situasi nyata sebagai orang yang sungguh-sungguh berpengharapan, termasuk dalam menghadapi kenyataan duka saat ini. Sebab dengan demikian, kita bisa dimungkinkan berada dalam suasana rohani yang akrab dengan Allah, sebagaimana layaknya hubungan antara ‘Sang Bapak dengan anak’. Biarlah keakraban itu kita nyatakan senantiasa melalui doa dan pengharapan, membaca firman Tuhan, dan kesetiaan dalam bentuk-bentuk nyata lainnya  setiap saat.
            Biarlah Roh Allah yang mampu menghidupkan, senantiasa berdiam di dalam kita, dan kita pun selalu dihiburkan serta dikuatkan oleh-Nya untuk menanti pengharapan sorgawi.
 Amin…!

No comments:

Post a Comment