Monday, June 8, 2015

“BERSAKIT-SAKIT MELULU, BERSENANG-SENANG KAPAN…?”




“BERSAKIT-SAKIT MELULU, BERSENANG-SENANG KAPAN…?”
( 1 Raja-raja 18 : 20 – 39 )
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Mungkin  ada berbagai macam respon berupa pertanyaan atau kesan yang muncul dalam hati dan pikiran kita, ketika membaca atau mendengarkan topik renungan kita pada saat ini.
Pertama, mungkin terkesan agak lucu, karena istilah ini mirip, namun sudah berbeda makna dengan istilah yang  sudah lasim dan sering kita ucapkan atau dengarkan, yaitu: ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’. Atau dalam bahasa yang lain, ‘berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian’.
Kedua, mungkin kita agak tersentak, dan kurang setuju serta menilai bahwa topik renungan ini terlalu pesimis/skeptis dan tidak mengandung unsur motivasi (penyemangat) di dalamnya. 
                Iya, benar. Istilah ini merupakan pelesetan dari slogan tersebut sekaligus bentuk refleksi
(perenungan) terhadap realita kehidupan kita. Mengapa dipelesetkan seperti itu? Karena pola perjalanan kehidupan kita keseharian sering memperlihatkan sikap dan pandangan seperti itu., Entah sadar atau tidak, slogan ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’ kadang tidak terlalu menjiwai lagi kehidupan kita selaku orang Kristen ( walaupun tidak semuanya). Tetapi yang sering muncul adalah sikap dan keluhan-keluhan dalam berbagai bentuk, yang mungkin tewakili oleh ungkapan,’bersakit-sakit melulu, bersenang-senang kapan…?
Situasi dan pergumulan hidup yang dialami dari waktu ke waktu sering membuat kita bingung sehingga kadang kita masa bodoh dan bersikap seolah-olah menggugat iman pengharapan kita sendiri selaku orang Kristen. Sering muncul pertanyaan-pertanyaan dalam hati dan pikiran kita bahwa, kalau Tuhan sungguh-sungguh peduli dengan kehidupan kita, mengapa hidup ini justru didominasi oleh berbagai penderitaan dan kegagalan dibanding kesenangan dan keberhasilan? Kondisi tersebut akhirnya sering menggiring kita pada sikap dan cara berpikir aji mumpung yang bersifat instant (sesaat), dan sering terjebak dalam sikap spekulasi (untung-untungan) lalu mendua hati di hadapan Tuhan.
                Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Kenyataan seperti itu, sering juga dialami oleh bangsa Israel. Dalam kehadirannya selaku umat pilihan Tuhan, yang diberikan tugas oleh Allah untuk menjadi teladan bagi sesamanya, bangsa Israel pun tidak luput dari berbagai situasi hidup yang sering membuat mereka bergumul. Penderitaan dan tekanan- tekanan hidup yang mereka alami, terkadang membuat mereka mulai menyangsikan kasih dan penyertaan Tuhan. Akibanya, mereka sering tergoda dengan praktek-praktek kehidupan dalam kepercayaan yang menduakan dan mendukakan Allah.
                Pembacaan kita pada saat ini merupakan seruan yang disampaikan oleh Nabi Elia kepada bangsa Israel ketika Ahab menjadi raja atas Israel, sebab banyak orang Israel sudah berpaling dari Allah dan menyembah baal. Pada waktu itu terjadi kemerosotan yang sangat dalam di bidang moral dan  keagamaan. Di Israel telah hadir 450 nabi baal, sedangkan nabi yang masih bertahan untuk bergantung kepada Tuhan Allah, tinggal Elia seorang diri. Jadi bisa dibayangkan bagaimana beratnya situasi dan pergumulan yang dihadapi oleh Eia.
                Menghadapi kenyataan tersebut, Nabi Elia menyoroti bangsa Israel. Dengan keras Ia menegur, katanya, “berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau baal ikutilah dia.” (ay.21). Bangsa Israel dituntut untuk menentukan pilihan; memilih Tuhan Allah atau memilih baal? Mereka diam, bingung! Ragu-ragu! Namun, setelah melalui proses yang panjang dan menegangkan, akhirnya bangsa Israel mampu  menentukan pilihan. Mereka memilih Tuhan Allah dan mereka pun menyaksikan bahwa Tuhan, Dialah Allah yang Maha kuasa. Mereka pun sujud menyembah-Nya! Kuasa Tuhan terjadi atas bangsa Israil  dan Elia (ay.39).
                Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
                Kita pun menyadari bahwa dalam menjalani hidup ini, sungguh terdapat banyak persimpangan di depan kita. Jika kita tidak hati-hati atau kurang cermat, maka kita bisa menempuh jalan yang salah dan akan membawa kita kepada kesesatan. Memang, tidak mudah untuk menentukan pilihan menuju jalan yang benar, jikalau kita mengabaikan rambu-rambu yang ada. Tetapi, jika kita memperhatikan rambu-rambu dengan seksama, maka arah jalan yang benar menjadi jelas. Kebingungan sering muncul dalam menghadapi kenyataan hidup ini karena jalan menuju kepada kesesatan dan kebinasaan seringkali terasa atau kelihatan ‘lebih mulus’, daripada jalan menuju kebenaran dan kebahagiaan. Apalagi kalau kita menyadari bahwa perjalanan kita masih jauh dan berat untuk bisa tiba pada tujuan, biasanya kita lebih suka menempuh jalan pintas.
                Menentukan sebuah pilihan bukanlah perkara yang gampang. Inikah, atau yang itukah? Semuanya membutuhkan suatu pertimbangan yang matang, sekaligus keberanian untuk menanggung resiki-resiko yang ditimbulkannya. Tetapi terkadang juga, terlalu gampang kita mengatakan, ”Ah, sembarang! Terserah, tidak apa-apa! Yang mana sajalah!”
                Memang, kalau kita berbicara soal pilihan menyangkut makanan atau minuman- susu atau kopi misalnya, memang tidak terlalu soal (walau tidak dapat disangkali juga bahwa makanan dan minuman yang tidak tepat dan tidak cocok bagi tubuh, dapat merusak kesehatan). Bisa saja kita menjwab, “ah, sembarang! Bisa kopi, bisa susu! Bisa juga kopi-susu! Gitu aja, kog repot!” Tetapi bagaimana kalau kita bersikap demikian gampangan terhadap hidup dan keimanan kita? Atau menyangkut hubungan kita dengan Tuhan? Bisakah kita katakan, yang mana saja? Sembarang, tidak apa-apa? Yakinlah, bahwa kalau kita bersikap demikian, otomatis resikonya sangat fatal bagi kelangsungan hidup kita!
                Firman-Nya menuntut kita untuk selalu berani mengambil keputusan iman dalam hidup ini, dengan segala resikonya. Memilih Allah Sang Pencipta, atau memilih illah lain; ciptaan manusia. Keputusan itu tidak boleh setengah-setengah. Atau mendua hati. Sebab tidak ada keimanan yang ‘part time’ (Separuh waktu untuk Tuhan dan separuh untuk ilah lain). Tidak ada orang yang mengaku Kristen dimana separuh tubuhnya dipersembahkan bagi kemuliaan Tuhan dan separuh untuk memuliakan ‘kuasa dunia’. Atau dalam waktu yang bersamaan, sementara tubuhnya sujud menyembah kepada Tuhan Allah, sementara juga hatinya mengharapkan pertolongan ilah lain. Yesus sendiri pernah mengatakan,” Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang, dan mengasihi yang lain. Yakobus pun menyaksikan bahwa orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya (yak. 1:8). Jadi, harus memilih salah satunya. Memilih Allah berarti siap untuk menghadapi tantangan dan penderitaan, namun kalau mampu bertahan berarti akan memperoleh hidup. Sebaliknya, memilih ilah lain, berarti menempuh jalan pintas, mulus, bahkan terkesan menyenangkan, namun berakhir dengan kebinasaan.
                Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Kristus Yesus,
                Kepada segenap rumpun keluarga, bahkan kita semua yang hadir pada saat ini. Jika kita boleh berkumpul dan bersukacita di tempat ini, itu semua adalah akibat atau buah dari keputusan hidup yang kita pilih di hari-hari kemarin. Kita dimungkinkan menaikkan syukur kepada Tuhan pada saat ini,  menikmati berkat-berkatnya, semata-mata karena pertolongan Allah yang telah kita pilih sebagai penolong kita dalam berencana dan bekerja pada waktu-waktu yang telah dilewati. 
                Memang, tidak dapat disangkali, bahwa selama kita bekerja dan berjuang mewujudkan segala impian yang ada, berbagai macam rintangan dan penderiaan hadir menjadi riak dan gelombang mewarnai  perjalanan kehidupan kita. Kadang kita diperhadapkan dengan berbagai macam pilihan; mau menempuh jalan pintas dan gampang tetapi buntu? atau menempuh jalan berliku dan panjang tetapi tiba dengan selamat? Mau mengandalkan Tuhan atau kuasa lain? Dan Puji Tuhan, berkat iman dan pengharapan yang kokoh, kita boleh mengambil keputusan iman untuk mau memilih dan selalu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Akhirnya kita pun boleh menyaksikan, bahwa orang-orang yang mau bersakit-sakit dahulu di dalam Tuhan, ia pun pasti akan bersenang-senang kemudian. Ungkapan syukur dan kesaksian yang kita nyatakan pada kesempatan ini menandakan juga bahwa Allah yang telah kita andalkan pada masa-masa yang lalu dan hari ini, Dia jugalah yang kita harapka untuk menyertai kita menjalani hari-hari kita selanjutnya. Sehingga kita pun senantiasa terhindar dari segala keraguan. Hidup kita pun tidak lagi diwarnai dengan keluhan-keluhan yang mengatakan, “bersakit-sakit melulu, bersenang-senang kapan…?”
“Sebab orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya (Maz. 126:5-6).”
*ilustrasi:
Dalam siaran tv atau radio, sering kita dengarkan tentang iklan yang mempromosikan berbagai macam produk. Antara lain, bunyinya, “Orang pintar minumnya TOLAK ANGIN”. T’rus, kalau orang beriman minumnya apa? “Orang beriman minumnya TOLAK ANGIN JAHAT!” Orang beriman harus rutin minum air kehidupan yaitu firman Allah, sehingga mampu menolak ‘angin jahat’ yaitu rupa-rupa pengajaran sesat dan ilah-ilah lain.
                Kiranya Roh Kudus menyertai. Terpujilah Tuhan, Allah…! Amin…! (RPM)

No comments:

Post a Comment