MENGURAI
SIMPUL KEGALAUAN HATI
(
Mazmur 57 : 1 – 12 )
Berada
dalam suasana senang dan nyaman adalah sebuah situasi yang selalu diimpikan
oleh setiap orang dalam hidupnya. Secara normal, tentunya tidak ada seorangpun yang menginginkan agar
hidupnya berada dalam kesulitan. Karena itu, setiap orang: baik selaku pribadi
maupun selaku kelompok selalu berusaha mencari zona (lingkungan) yang
dianggapnya aman bagi dirinya. Atau, berupaya menciptakan sarana yang bisa
memberikan jaminan rasa nyaman bagi kelangsungan hidupnya. Dengan adanya rasa
nyaman, diharapkan berbagai aktifitas dalam hidup ini bisa dijalani dengan
baik, bahkan dapat menciptakan rasa senang dalam hati kita. Senang saat bekerja, senang saat menuai dan menikmati
hasil dari pekerjaan kita, senang saat
berjumpa dan bisa berbagi dengan sesama, dan lain sebagainya. Namun, harapan
dan kenyataan tidak selamanya berjalan berbarengan. Hidup tidak selamanya berjalan
mulus persis seperti yang diidam-idamkan.
Alur kehidupan yang kita jalani selalu
ditandai dengan berbagai permasalahan, sebagai dinamika hidup. Kadang, hidup
ini berjalan serasa begitu indah, nyaman dan nyaris tanpa hambatan. Kadang berjalan
mundur ataupun maju, dan kadang juga serasa seolah hanya berputar-putar
ditempat; menyerupai gulungan benang kusut yang susah terurai. Hati kitapun
sering terjebak oleh perasaan kuatir dan takut, bagaikan terperangkap dalam
simpul-simpul jaring yang begitu kuat dan susah untuk dilepas. Menghadapi situasi
hidup yang demikian sulit, tindakan apakah yang seharusnya kita lakukan?
Saudara-saudara yang kekasih di
dalam Yesus Kristus,
Keseluruhan
tulisan yang kita baca dari bagian kitab mazmur saat ini, merupakan sepenggal
dari serangkaian kesaksian dan pengakuan iman Daud yang patut untuk kita
pelajari dan teladani. Pengakuan ini
lahir dari sebuah refleksi (perenungan) atas berbagai peristiwa, sebagai
pengalaman yang sangat berharga dalam hidupnya. Jalan hidup yang dilaluinya
tidak selamanya mudah dan aman, tetapi justru sering diwarnai dengan berbagai
pergolakan, sehingga kerapkali ia ditempatkan pada situasi hidup yang begitu
sulit. Akibatnya, suasana hatinya pun sering terasa galau. Ia sering merasa
seakan berada dalam lingkaran bayang-bayang yang sangat menakutkan. Sebagai
contoh, ia pernah dikejar-kejar oleh Raja Saul bersama para pengikutnya yang
hendak membunuhnya. Keadaannya dapat diibaratkan seolah-olah ia sedang
terbaring di tengah-tengah singa yang suka menerkam (ay.5). Ia merasa
langka-langkahnya sering diperhadapkan dengan jebakan-jebakan berupa jaring
atau lobang (ay.7). Tetapi pahit getirnya kehidupan yang dihadapinya justru telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang dewasa dalam hal keimanan,
sehingga ia senantiasa dimampukan untuk memahami tentang bagaimana semestinya
dalam bersikap sebagai orang yang memiliki pengharapan. Justru dalam situasi
yang demikian sulitlah yang memungkinkan dirinya untuk bisa semakin mengenal, merasakan serta mengalami kelepasan
dan kelegaan karena pertolongan Tuhan.
Ia
sadar, bahwa sebagai manusia yang rapuh, pada dirinya sama sekali tidak ada
kekuatan dan kemampuan yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam mengendalikan
situasi yang ada. Oleh karena itu, tidak
ada tempat yang lebih aman baginya, kecuali pasrah dalam pengharapan sambil
menanti pertolongan dari Tuhan. Ia memposisikan dirinya sebagai orang yang
mengandalkan Tuhan dalam menghadapi setiap masalah. Hal tersebut dapat dilihat
dari sikap imannya yang hanya mau berlindung dalam naungan sayap Tuhan, sambil
menanti dengan sabar berlalunya masalah yang dihadapinya (ay.2). Bahkan semakin
ia tertekan, semakin juga ia berseru meninggikan dan memuliakan nama Tuhan
(ay.3,6). Ia tidak kecewa dan tidak tergoda untuk mencari pertolongan lain, atau mencari jalan
pintas. Ia setia dan taat melakukan apa
yang Allah perintahkan baginya. Dan sungguh terbukti, bahwa hanya oleh uluran tangan Tuhan sematalah yang mampu
mengurai simpul-simpul yang membelenggu hatinya. Sehingga ia terbebaskan dari
segala kegalauan hidup yang mendera.
Bertolak
dari pengalaman dan kesaksian imannya bersama Tuhanlah, akhirnya ia tiada
henti-hentinya menceritakan kekagumannya tentang kebesaran Tuhan. Tekanan hidup
yang dialaminya, kegalauan hati dalam
kesendiriaan, dan ketidak berdayaan yang dirasakannya, membuat Daud hanya bisa berseru
dan berserah; membuka hati sepenuhnya kepada Tuhan. Sikap kepasrahannya kepada
Tuhan itulah yang memungkinkan Daud dilepaskan dari belenggu maut, serta
dipulihkan dari berbagai rasa kuatir dan rasa takut. Kepedihan hidup yang
dialaminya berganti dengan puji-pujian…
Saudara-saudara yang dikasihi di
dalam Yesus Kristus,
Sama
halnya dengan Daud, demikian jugalah
halnya dengan kita. Tentunya tidak ada seorangpun di antara kita yang
tidak pernah mengalami pergumulan dalam sepanjang hidup ini, termasuk saat sekarang
ini. Siapapun kita: entah orang kaya atau orang miskin, entah orang tua maupun
anak-anak, entah orang berpendidikan atau bukan, entah rakyat biasa maupun
pejabat, tidak ada yang terkecuali. Mengapa? Karena kita dilahirkan ke dalam
dunia yang memang telah dipenuhi dengan masalah-masalah yang begitu rumit dan kompleks;
sebagai akibat dari dosa-dosa kita selaku manusia. Ada berbagai tekanan yang muncul
diakibatkan oleh karena adanya keinginanan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan,
ambisi, pertentangan, aniaya, kesepian,
dan lain-lain.
Ada
masalah-masalah yang timbul karena dampak dari perilaku hidup kita sendiri,
namun adapula sebagai akibat dari perilaku orang lain, atau keadaan lingkungan
yang memang tidak dapat dikendalikan. Dalam hal ini, tidak jarang kita berada pada posisi sebagai korban. Sebagai
akibat, kegalauan hati bisa secara tiba-tiba datang menyerang, bahkan
memuramkan harapan hidup dan masa depan. Bisa terjadi hidup yang kita jalani
penuh dengan cobaan, atau hari-hari kita penuh dengan siksaan batin, apalagi
ketika kita merasa seolah-olah Allah berlaku tidak adil, atau
menilai Allah tidak mampu bertindak; memberikan pertolongan serta jalan keluar. Kita lalu mengeluh,
mengeluh dan terus mengeluh; “ah, kenapa nasibku seperti ini? Kenapa Allah
membiarkan aku menderita? Kenapa pertolongan Allah tidak kunjung datang padaku,
padahal aku tiada henti-hentinya berdoa kepada-Nya?”.
Kita
sering meronta, menggertak dalam hati
sambil menyalahkan Tuhan. Namun sebenarnya, tanpa disadari, keluhan-keluhan
yang kita lakukan sebenarnya justru menjadi rongrongan bagi diri kita sendiri.
Bahkan malah semakin menambah beratnya beban hidup kita. Dalam situasi emosi
yang labil demikian, akhirnya kita sering tidak sabar untuk mengalami
kelepasan. Bahkan tidak jarang, kita begitu gampang menerima tawaran/pertolongan
darimana saja asalnya, yang penting bisa lepas- tanpa peduli apakah itu sesuai
dengan kehendak Allah atau tidak. Padahal, sadar atau tidak sadar, sikap seperti
ini sebenarnya sudah membuat kita menduakan Allah. Bahkan secara tidak langsung,
sebenarnya kita telah menolak campur tangan Allah atas hidup kita.
Kelepasan
di luar pertolongan Tuhan memang ada, tetapi semua itu semu adanya. Sifatnya
hanya sesaat, namun setelahnya, masalah justru bisa datang berlipat ganda
dibanding masalah sebelumnya. Kelepasan yang sejati hanya bisa kita dapatkan
dan nikmati dari Tuhan; kalau kita mampu bersikap sedemikian rupa, sehingga kita belajar menang di dalam dan melalui
penderitaan. Jadikanlah sikap Daud dalam menghadapi masalah sebagai inspirasi dan
petunjuk, untuk lebih memahami tentang bagaimana seharusnya bersikap dalam
menghadapi masalah hidup. Ia bersikap pasrah, taat, dan dengan segala keyakinan
mampu bersabar menanti sampai kapanpun, dan denga cara apapun yang Allah akan
lakukan dalam memberikan jawaban atas doa-doanya. Semakin ia tertekan, semakin
juga ia memposisikan hati dan hidupnya dalam menghadapi masalah sebagai orang
yang hanya bergantung kepada Allah saja. Ia tidak meragukan apalagi menolak
uluran tangan Allah. Ia tidak hanya berseru kepada Tuhan dengan kata-kata,
tetapi juga mampu membuktikan melalui sikapnya, bahwa ia sungguh-sungguh
berserah sepenuhnya apapun situasi yang dialaminya.
Mengatasi
kegalauan hati nampaknya terletak pada masalah sikap: “Bagaimana seharusnya
kita menanggapi dan memposisikan diri di depan masalah sebagai orang yang sungguh-sungguh
bergantung kepada Allah saja; sehingga mampu melihat ke balik penderitaan. Kepada
maksud-maksud Allah yang Maha tinggi dan kepada apa yang hendak diajarkan-Nya,
sambil menanti kelepasan dari Allah.”
Kadang,
dalam berbagai bentuk kehidupan, Allah
mengijinkan hadirnya berbagai penderitaan, agar kita bisa belajar menanggapi
masalah dan merespon Allah secara benar sesuai dengan firman-Nya. Karena
Firman-Nya mampu memberikan ketenangan, petunjuk dan harapan. Alkitab
memberikan pula kesaksian bahwa Tuhan Yesus pun telah belajar taat kepada Bapa
dalam menjalani berbagai penderitaan. Dan pengalaman hidup dalam ketaatannya
itulah yang mampu menjelaskan makna yang sangat dalam dari apa yang telah
diderita-Nya.
Tujuan
dan keberhasilan hidup kita bisa dikatakan tercapai bukan hanya apabila kita
bisa terlepas dari kesulitan-kesulitan dan kegalauan hidup, Tetapi juga apabila
kita mampu belajar senantiasa memuliakan
Allah dengan selalu bersikap responsif; yaitu taat kepada Dia sesuai dengan
firman-Nya dalam situasi apapun.
Ketika
kita taat dan percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, maka
pertolongan Allah di dalam Kristus Yesus yang Maha dahsyat pasti terjadi. Sebab
Roh Allah yang Maha Kudus senantiasa peduli kepada umat-Nya yang setia.
***Ilustrasi:
Suatu hari, di sebuah
hutan, seekor monyet menghadapi sebuah masalah besar. Secara tidak sengaja, ia
terperangkap dalam sebuah jaring yang sengaja dipasang oleh pemburu binatang
yang bermaksud menjebak dan menangkapnya. Kenyataan tersebut secara otomatis menimbulkan
kepanikan dan pergumulan dalam dirinya. Dengan segala daya upaya, ia beberapa
kali mencoba melepaskan diri dari lilitan jaring tersebut, tetapi tidak
berhasil. Dalam situasi demikian, tiba-tiba datanglah seseorang yang tidak lain
adalah petugas/pencinta binatang, hendak melepaskannya. Namun, rupanya maksud
baik dari orang tersebut justru ditanggapi secara keliru oleh si monyet. Setiap
kali orang tersebut mengulurkan tanggannya hendak melepaskan monyet tersebut
dari perangkap jaring, saat itu juga si monyet meronta. Bahkan tidak jarang si
monyet memperlihatkan sikap menyerang. Akibanya, simpul-simpul pada jaring
tersebut bukannya lepas tapi malah semakin kuat melilitnya. Bahkan menimbulkan
luka-luka dan rasa sakit yang amat dalam pada tubuh si monyet.
Menghadapi
situasi tersebut, akhirnya orang tersebut memberikan suntikan obat penenang
kepada si monyet. Hasilnya, si monyet tersebut bersikap pasrah dan tenang
sehingga memungkinkan tangan orang
tersebut dengan leluasa mengurai satu demi satu simpul-simpul jaring yang
melilit di tubuh si monyet, hingga lepas. Bahkan tidak lupa, luka-luka yang ada
di tubuhnyapun diobati sehingga pulih total.
Amin…!
No comments:
Post a Comment