Friday, June 19, 2015

MENGURAI SIMPUL KEGALAUAN HATI



MENGURAI SIMPUL KEGALAUAN HATI
( Mazmur  57 : 1 – 12 )

Berada dalam suasana senang dan nyaman adalah sebuah situasi yang selalu diimpikan oleh setiap orang dalam hidupnya. Secara normal, tentunya  tidak ada seorangpun yang menginginkan agar hidupnya berada dalam kesulitan. Karena itu, setiap orang: baik selaku   pribadi maupun selaku kelompok selalu berusaha mencari zona (lingkungan) yang dianggapnya aman bagi dirinya. Atau, berupaya menciptakan sarana yang bisa memberikan jaminan rasa nyaman bagi kelangsungan hidupnya. Dengan adanya rasa nyaman, diharapkan berbagai aktifitas dalam hidup ini bisa dijalani dengan baik, bahkan dapat menciptakan rasa senang dalam hati kita. Senang saat   bekerja, senang saat menuai dan menikmati hasil dari pekerjaan kita,  senang saat berjumpa dan bisa berbagi dengan sesama, dan lain sebagainya. Namun, harapan dan kenyataan tidak selamanya berjalan berbarengan. Hidup tidak selamanya berjalan mulus persis seperti yang diidam-idamkan.
 Alur kehidupan yang kita jalani selalu ditandai dengan berbagai permasalahan, sebagai dinamika hidup. Kadang, hidup ini berjalan serasa begitu indah, nyaman  dan nyaris tanpa hambatan. Kadang berjalan mundur ataupun maju, dan kadang juga serasa seolah hanya berputar-putar ditempat; menyerupai gulungan benang kusut yang susah terurai. Hati kitapun sering terjebak oleh perasaan kuatir dan takut, bagaikan terperangkap dalam simpul-simpul jaring yang begitu kuat dan susah untuk dilepas. Menghadapi situasi hidup yang demikian sulit, tindakan apakah yang seharusnya kita lakukan?  
Saudara-saudara yang kekasih di dalam Yesus Kristus,
Keseluruhan tulisan yang kita baca dari bagian kitab mazmur saat ini, merupakan sepenggal dari serangkaian kesaksian dan pengakuan iman Daud yang patut untuk kita pelajari dan teladani.  Pengakuan ini lahir dari sebuah refleksi (perenungan) atas berbagai peristiwa, sebagai pengalaman yang sangat berharga dalam hidupnya. Jalan hidup yang dilaluinya tidak selamanya mudah dan aman, tetapi justru sering diwarnai dengan berbagai pergolakan, sehingga kerapkali ia ditempatkan pada situasi hidup yang begitu sulit. Akibatnya, suasana hatinya pun sering terasa galau. Ia sering merasa seakan berada dalam lingkaran bayang-bayang yang sangat menakutkan. Sebagai contoh, ia pernah dikejar-kejar oleh Raja Saul bersama para pengikutnya yang hendak membunuhnya. Keadaannya dapat diibaratkan seolah-olah ia sedang terbaring di tengah-tengah singa yang suka menerkam (ay.5). Ia merasa langka-langkahnya sering diperhadapkan dengan jebakan-jebakan berupa jaring atau lobang (ay.7). Tetapi pahit getirnya kehidupan yang  dihadapinya justru telah  membentuk dirinya menjadi  pribadi yang dewasa dalam hal keimanan, sehingga ia senantiasa dimampukan untuk memahami tentang bagaimana semestinya dalam bersikap sebagai orang yang memiliki pengharapan. Justru dalam situasi yang demikian sulitlah yang memungkinkan dirinya untuk bisa semakin  mengenal, merasakan serta mengalami kelepasan dan kelegaan karena pertolongan Tuhan.
Ia sadar, bahwa sebagai manusia yang rapuh, pada dirinya sama sekali tidak ada kekuatan dan kemampuan yang dapat diandalkan sepenuhnya dalam mengendalikan situasi yang ada. Oleh  karena itu, tidak ada tempat yang lebih aman baginya, kecuali pasrah dalam pengharapan sambil menanti pertolongan dari Tuhan. Ia memposisikan dirinya sebagai orang yang mengandalkan Tuhan dalam menghadapi setiap masalah. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap imannya yang hanya mau berlindung dalam naungan sayap Tuhan, sambil menanti dengan sabar berlalunya masalah yang dihadapinya (ay.2). Bahkan semakin ia tertekan, semakin juga ia berseru meninggikan dan memuliakan nama Tuhan (ay.3,6). Ia tidak kecewa dan tidak tergoda untuk  mencari pertolongan lain, atau mencari jalan pintas.  Ia setia dan taat melakukan apa yang Allah perintahkan baginya. Dan sungguh terbukti, bahwa hanya oleh  uluran tangan Tuhan sematalah yang mampu mengurai simpul-simpul yang membelenggu hatinya. Sehingga ia terbebaskan dari segala kegalauan hidup yang mendera.
Bertolak dari pengalaman dan kesaksian imannya bersama Tuhanlah, akhirnya ia tiada henti-hentinya menceritakan kekagumannya tentang kebesaran Tuhan. Tekanan hidup yang dialaminya,  kegalauan hati dalam kesendiriaan, dan ketidak berdayaan yang dirasakannya, membuat Daud hanya bisa berseru dan berserah; membuka hati sepenuhnya kepada Tuhan. Sikap kepasrahannya kepada Tuhan itulah yang memungkinkan Daud dilepaskan dari belenggu maut, serta dipulihkan dari berbagai rasa kuatir dan rasa takut. Kepedihan hidup yang dialaminya berganti dengan puji-pujian…
Saudara-saudara yang dikasihi di dalam Yesus Kristus,
Sama halnya dengan Daud, demikian jugalah  halnya dengan kita. Tentunya tidak ada seorangpun di antara kita yang tidak pernah mengalami pergumulan dalam  sepanjang hidup ini, termasuk saat sekarang ini. Siapapun kita: entah orang kaya atau orang miskin, entah orang tua maupun anak-anak, entah orang berpendidikan atau bukan, entah rakyat biasa maupun pejabat, tidak ada yang terkecuali. Mengapa? Karena kita dilahirkan ke dalam dunia yang memang telah dipenuhi dengan masalah-masalah yang begitu rumit dan kompleks; sebagai akibat dari dosa-dosa kita selaku  manusia. Ada berbagai tekanan yang muncul diakibatkan oleh karena adanya keinginanan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, ambisi,  pertentangan, aniaya, kesepian, dan lain-lain.
Ada masalah-masalah yang timbul karena dampak dari perilaku hidup kita sendiri, namun adapula sebagai akibat dari perilaku orang lain, atau keadaan lingkungan yang memang tidak dapat dikendalikan. Dalam hal ini, tidak jarang kita  berada pada posisi sebagai korban. Sebagai akibat, kegalauan hati bisa secara tiba-tiba datang menyerang, bahkan memuramkan harapan hidup dan masa depan. Bisa terjadi hidup yang kita jalani penuh dengan cobaan, atau hari-hari kita penuh dengan siksaan batin, apalagi ketika  kita merasa  seolah-olah Allah berlaku tidak adil, atau menilai Allah tidak mampu bertindak; memberikan pertolongan  serta jalan keluar. Kita lalu mengeluh, mengeluh dan terus mengeluh; “ah, kenapa nasibku seperti ini? Kenapa Allah membiarkan aku menderita? Kenapa pertolongan Allah tidak kunjung datang padaku, padahal aku tiada henti-hentinya berdoa kepada-Nya?”.
Kita sering  meronta, menggertak dalam hati sambil menyalahkan Tuhan. Namun sebenarnya, tanpa disadari, keluhan-keluhan yang kita lakukan sebenarnya justru menjadi rongrongan bagi diri kita sendiri. Bahkan malah semakin menambah beratnya beban hidup kita. Dalam situasi emosi yang labil demikian, akhirnya kita sering tidak sabar untuk mengalami kelepasan. Bahkan tidak jarang, kita begitu gampang menerima tawaran/pertolongan darimana saja asalnya, yang penting bisa lepas- tanpa peduli apakah itu sesuai dengan kehendak Allah atau tidak. Padahal, sadar atau tidak sadar, sikap seperti ini sebenarnya sudah membuat kita menduakan Allah. Bahkan secara tidak langsung, sebenarnya kita telah menolak campur tangan Allah atas hidup kita. 
Kelepasan di luar pertolongan Tuhan memang ada, tetapi semua itu semu adanya. Sifatnya hanya sesaat, namun setelahnya, masalah justru bisa datang berlipat ganda dibanding masalah sebelumnya. Kelepasan yang sejati hanya bisa kita dapatkan dan nikmati dari Tuhan; kalau kita mampu bersikap sedemikian  rupa, sehingga  kita   belajar menang di dalam dan melalui penderitaan. Jadikanlah sikap Daud dalam menghadapi masalah sebagai inspirasi dan petunjuk, untuk lebih memahami tentang bagaimana seharusnya bersikap dalam menghadapi masalah hidup. Ia bersikap pasrah, taat, dan dengan segala keyakinan mampu bersabar menanti sampai kapanpun, dan denga cara apapun yang Allah akan lakukan dalam memberikan jawaban atas doa-doanya. Semakin ia tertekan, semakin juga ia memposisikan hati dan hidupnya dalam menghadapi masalah sebagai orang yang hanya bergantung kepada Allah saja. Ia tidak meragukan apalagi menolak uluran tangan Allah. Ia tidak hanya berseru kepada Tuhan dengan kata-kata, tetapi juga mampu membuktikan melalui sikapnya, bahwa ia sungguh-sungguh berserah sepenuhnya apapun situasi yang dialaminya.
Mengatasi kegalauan hati nampaknya terletak pada masalah sikap: “Bagaimana seharusnya kita menanggapi dan memposisikan diri di depan masalah sebagai orang yang sungguh-sungguh bergantung kepada Allah saja; sehingga mampu melihat ke balik penderitaan. Kepada maksud-maksud Allah yang Maha tinggi dan kepada apa yang hendak diajarkan-Nya, sambil menanti kelepasan dari Allah.”
Kadang, dalam berbagai bentuk kehidupan,  Allah mengijinkan hadirnya berbagai penderitaan, agar kita bisa belajar menanggapi masalah dan merespon Allah secara benar sesuai dengan firman-Nya. Karena Firman-Nya mampu memberikan ketenangan, petunjuk dan harapan. Alkitab memberikan pula kesaksian bahwa Tuhan Yesus pun telah belajar taat kepada Bapa dalam menjalani berbagai penderitaan. Dan pengalaman hidup dalam ketaatannya itulah yang mampu menjelaskan makna yang sangat dalam dari apa yang telah diderita-Nya.
Tujuan dan keberhasilan hidup kita bisa dikatakan tercapai bukan hanya apabila kita bisa terlepas dari kesulitan-kesulitan dan kegalauan hidup, Tetapi juga apabila kita mampu belajar senantiasa  memuliakan Allah dengan selalu bersikap responsif; yaitu taat kepada Dia sesuai dengan firman-Nya dalam situasi apapun.
Ketika kita taat dan percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah, maka pertolongan Allah di dalam Kristus Yesus yang Maha dahsyat pasti terjadi. Sebab Roh Allah yang Maha Kudus senantiasa peduli kepada umat-Nya yang setia. 
***Ilustrasi:
Suatu hari, di sebuah hutan, seekor monyet menghadapi sebuah masalah besar. Secara tidak sengaja, ia terperangkap dalam sebuah jaring yang sengaja dipasang oleh pemburu binatang yang bermaksud menjebak dan menangkapnya. Kenyataan tersebut secara otomatis menimbulkan kepanikan dan pergumulan dalam dirinya. Dengan segala daya upaya, ia beberapa kali mencoba melepaskan diri dari lilitan jaring tersebut, tetapi tidak berhasil. Dalam situasi demikian, tiba-tiba datanglah seseorang yang tidak lain adalah petugas/pencinta binatang, hendak melepaskannya. Namun, rupanya maksud baik dari orang tersebut justru ditanggapi secara keliru oleh si monyet. Setiap kali orang tersebut mengulurkan tanggannya hendak melepaskan monyet tersebut dari perangkap jaring, saat itu juga si monyet meronta. Bahkan tidak jarang si monyet memperlihatkan sikap menyerang. Akibanya, simpul-simpul pada jaring tersebut bukannya lepas tapi malah semakin kuat melilitnya. Bahkan menimbulkan luka-luka dan rasa sakit yang amat dalam pada tubuh si monyet.
            Menghadapi situasi tersebut, akhirnya orang tersebut memberikan suntikan obat penenang kepada si monyet. Hasilnya, si monyet tersebut bersikap pasrah dan tenang sehingga memungkinkan  tangan orang tersebut dengan leluasa mengurai satu demi satu simpul-simpul jaring yang melilit di tubuh si monyet, hingga lepas. Bahkan tidak lupa, luka-luka yang ada di tubuhnyapun diobati sehingga pulih total.
 Amin…!

No comments:

Post a Comment